Prona Gratis yang Belum Berbuah Manis?

Rizal Ependi. Foto jambiterbit.com

Oleh : Rizal Ependi 

ENTAH berapa puluh ribu sertifikat tanah Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) diterbitkan pada setiap dekade. Entah berapa banyak pula masyarakat yang menjerit karena didatangi petugas perlente yang hanya bisa mendikte. Jadi takut bukan karena tak ingin memiliki, namun untuk memiliki harus membayar dengan rasa takut. Takut "mahal" dan "kemahalan".

Bahkan terkadang agak kurang setimpal dengan apa yang telah dijual guna memperoleh sertifikat prona yang katanya tak berbayar. Di seluruh Indonesia kebagian indahnya program ini. Pemerintah menekankan harus mengurus surat pernyataan hak kepemilikan tanah.

Tujuannya disatu saat nanti seluruh tanah yang ada di bumi pertiwi ini telah terdaftar di Badan Pertanahan Nasional (BPN) pusat di Jakarta. Konon kabarnya untuk memiliki sertifikat prona tak perlu membayar.

Namun kenyataan di lapangan tak lah seperti yang dikabarkan. Satu dua bahkan tiga juta rupiah-pun bisa lenyap, itu tergantung luas tanah pekarangan yang dimiliki. Memang tak terang -terangan, semuanya semi rahasia. Pratiknya pun sulit dibuktikan namun hal itu benar adanya. Sebab pepata mengatakan tak mungkin ada asap tanpa api.

Niat pemerintah mendaftarkan kepemilikan tanah sebuah ide yang bagus. Masyarakat pun menyambut dengan serius, sehingga SHM (Sertifikat Hak Milik) kendatipun diperoleh - yang katanya dengan cara gratis- dapat menghilangkan sedikit was-was di dada.

Masyarakat tidak takut lagi tanahnya dicaplok atau hilang separoh diambil pemilik sebelah. Batas telah ditentukan dengan jelas, menggunakan teknologi digital, walaupun akhirnya tak akan melupakan benang ukur yang dikenal dengan meter pas.

Awal berhembus sertifikat gratis dari zaman dulu masyarakat telah sangat gembira. Pemerintah memang memihak kepada rakyatnya. Bayangan dapat memiliki legalitas sebidang tanah dengan cuma-cuma mungkin sampai didalam tidur. 

Capek pun hilang, penat pun minggat. Esok hari dalam bayangan telah tergemgam sebuah buku tipis berwarna biru muda dengan stempel burung garuda yang di keluarkan Badan Pertanahan Nasional RI.

Namun sayangnya keindahan mimpi tersebut berangsur hilang karena kenyataan di lapangan tak lah demikian adanya. Ada istilah uang capek, uang bensin dan sebagainya. Toh kalau di total jumlahnya lumayan gede.

Kecilnya nilai uang hini - hitu tersebut jika pemilik tanah hanya satu atau dua orang. Namun kalau telah ratusan atau bahkan ribuan orang, jika dikalikan satu juta rupiah saja tentu sangat banyak. Jika hanya untuk uang bensin, tentu tidak sebanyak itu.

Sebab kalau uang yang dikumpulkan dari masyarakat dengan alasan untuk mengganti uang bensin, bisa dibayangkan perjalanan si pengurus sertifikat sangat jauh, bahkan mungkin telah sampai ke Tibet atau Kalifornia. Namun apa mau dikata, ini memang nyata. Prona memang gratis, namun hingga kini masih belum berbuah manis. (*)

Diberdayakan oleh Blogger.