JAMBITERBIT.COM, JAKARTA - Pasca vonis 18 bulan
penjara kepada Meilina, warga Tanjung Balai, Sumatera Utara, lantaran
memprotes volume suara azan, kini Kementerian Agama akan mengatur volume
suara azan yang di masjid. Sejumlah tokoh Islam menolak kebijakan ini,
dan harus dilawan. Ribuan massa siap kepung Kantor Menteri Agama Lukman
Hakim Saifuddin jika larangan itu dilaksanakan. Selain itu kebijakan ini
dinilai diskriminatif karena tidak mengatur penggunaan pengeras suara
tempat ibadah semua agama.
Ketua Umum Persaudaraan Alumni (212) Ustadz Slamet Maarif mengatakan,
tidak ada UU yang melarang suara azan yang berkumandang di masjid atau
musholla. Aturan mengenai suara azan hanya intruksi dari Dirjen Bimas
Kemenag sehingga tidak wajib untuk ditaati. Ustadz Slamet menyerankan
untuk melawan intruksi Dirjen tersebut karena bersifat diskriminasi dan
berpotensi membuat Indonesia menjadi negara sekuler.
"Lawan saja (Intruksi Dirjen Kemenag)," kata Ustadz Slamet kepada Harian Terbit, Senin (27/8/2018).
Ustadz Slamet menegaskan, jika memang Kemenag bakal atur volume suara
azan di masjid atau mushalla maka pihaknya yang pertama akan mendatangi
kantor Lukman Hakim Saifuddin yang terletak di Lapangan Banteng
tersebut. Pihaknya tidak segan - segan mengepung kantor Kemenag jika
benar - benar memaksakan kehendaknya untuk membungkam syiar agama Islam.
Apalagi agama Islam merupakan mayoritas dipeluk penduduk Indonesia.
“Kita akan datangi Kemenag untuk minta penjelasan. Jika ternyata ada
upaya membungkam syiar Islam kepung Kemenag tuntut mundur Menag,"
tegasnya.
Ustadz Slamet menilai, saat ini banyak pihak yang ketakutan atau
islamphobia atas persatuan umat Islam. Sehingga berbagai upaya
dilakukan untuk memecahnya, di antaranya dengan mengatur suara azan yang
merupakan salah satu syiar agama Islam. Karena jika umat Islam bersatu
maka kekuatan apapun akan dikalahkannya. "Mereka panik dengan kekuatan
umat Islam dan ulama," paparnya.
Sementara itu Juru Bicara PA 212 Habib Novel Bamukmin mengatakan, azan
adalah panggilan sholat sehingga yang namanya panggilan maka harus
seluas luasnya agar orang yang beragama Islam ingat waktu untuk
mengerjakan sholat. Selain panggilan untuk sholat, azan juga sebagai
penanda waktu sehingga suara azan sudah ada sejak Islam lahir ke dunia
ini.
Walaupun sebagai syiar namun umat Islam juga sangat toleran karena
ketika umat Islam menjadi minoritas maka suara speaker masjid tidak
keluar.
"Artinya ketika speaker masjid itu berada di daerah mayoritas Islam
maka yang minoritas juga harus tahu diri sebagaimana umat Islam tahu
diri ketika menjadi minoritas," jelasnya.
Menurut Novel, biarkan umat Islam menjadi tuan di rumahnya sendiri.
Kemenag jangan menjadi lembaga pembela terhadap penista agama Islam.
"Selama ini Kemenag selalu salah langkah karena tidak bisa menempatkan
masalah secara obyektif," paparnya.
Diskriminatif
Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Zainut Tauhid Saadi
menyarankan agar Kementerian Agama mengatur penggunaan pengeras suara
tempat ibadah semua agama. Karena saat ini Kemenag hanya mengatur
penggunaan pengeras suara di masjid saja, yakni melalui Instruksi
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag No. Kep/D/101/1978
tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid.
"Instruksi Dirjen tersebut juga bersifat diskriminatif karena hanya
mengatur rumah ibadah tertentu, sehingga dikhawatirkan dapat menimbulkan
kecemburuan di tengah masyarakat," ujar Zainut melalui siaran pers,
Senin (27/8/2018).
Zainut menilai kasus yang melibatkan Meiliana adalah pelajaran yang
mesti diperhatikan pemerintah. Diketahui, Meiliana, warga Tanjung Balai,
Sumatera Utara divonis 18 bulan penjara karena memprotes volume
pengeras suara azan di lingkunganya. Ia dinilai melanggar pasal penodaan
agama.
Zainut menganggap perlu ada peraturan yang dapat menjamin terbangunnya
kehidupan yang damai, rukun dan harmonis antarelemen masyarakat.
Pemerintah, khususnya Kemenag, harus membuat regulasi yang dapat
diterima oleh semua pihak yakni tidak boleh diskriminatif, dan harus
mengatur dan melindungi semua umat beragama.
Zainut menjelaskan bahwa instruksi Instruksi Dirjen Bimas Kemenag No.
Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid juga
cenderung lemah dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
Alasannya, karena tidak ada perintah atau delegasi dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi terkait instruksi Dirjen Bimas
tersebut.
Zainut mengatakan Instruksi Dirjen Bimas Islam itu juga sudah tidak
relevan dengan UU No. 12 Tahun 2011 Tentang Peraturan Pembentukan
Perundang-undangan. Dalam undang-undang itu dijelaskan bahwa setiap
peraturan akan memiliki kekuatan hukum yang mengikat jika ada peraturan
yang lebih tinggi. "Jadi menurut hemat saya, Kementerian Agama harus
membuat peraturan perundangan yang lebih komprehensif," ucap Zainut.
Di sisi yang lain, Zainut juga berharap agar masyarakat dapat mengambil
hikmah dan pelajaran berharga dari kasus yang terjadi pada Meiliana.
Menurutnya, dalam sebuah masyarakat yang majemuk dibutuhkan kesadaran
hidup bersama untuk saling menghomati, toleransi dan sikap empati satu
dengan lainnya.
"Sehingga tidak timbul gesekan dan konflik di tengah-tengah masyarakat," ucap Zainut.
Sebelumnya, Menteri Agama Lukman Hakim Syaefuddin mengunggah lima poin
Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tentang
Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushalla lewat akun
twitter pribadinya. (harianterbit/Safari)