Rupiah Ambruk, Harga Makanan, Mi, Tahu, Tempe Bakal Naik


foto ist
JAMBITERBIT.COM, JAKARTA - Ambruknya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat hingga mencapai Rp15 ribu diprediksi tentunya memberatkan perekonomian nasional, khususnya rakyat kecil. Rakyat kecil cepat atau lambat harus menanggung kenaikan harga-harga kebutuhan pokok termasuk harga kebutuhan makanan sehari-hari rakyat kecil, seperti beras,  mie, kedelai,  minyak goreng, tahu dan tempe, dan lainnnya.

Menanggapi hal ini Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Madani (Prima) Syaroni mengatakan, pemerintah harus menyelamatkan rakyat. Karena dengan kenaikan harga tukar dolar maka akan membuat harga - harga kebutuhan pokok seperti beras, makanan, minuman, mie, rokok dan kedelai, bakal naik.
Sebagai solusi maka Presiden Joko Widodo (Jokowi) memecat Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani. "Rakyat harus disematkan karena pada 4 September 2018, Rupiah telah melewati batas psikologis Rp. 15 ribu/dolar AS," kata Syaroni kepada Harian Terbit, Jumat (7/9/2018).

Tahu Tempe

Sementara itu, koalisi partai politik pengusung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menyoroti dampak pelemahan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat berdampak sistemik terhadap perekonomian masyarakat, sehingga diperlukan langkah-langkah strategis agar ekonomi sektor ril tetap berjalan.

"Melemahnya kurs rupiah yang berkepanjangan tentunya memberatkan perekonomian nasional, khususnya rakyat kecil," kata bakal calon wakil presiden, Sandiaga Uno, dalam konferensi pers di kediaman Prabowo, Jalan Kertanegara, Jakarta, Jumat.

Laki-laki politisi dengan latar pengusaha itu mengatakan, rakyat kecil cepat atau lambat harus menanggung kenaikan harga harga kebutuhan pokok termasuk harga kebutuhan makanan sehari-hari rakyat kecil, seperti tahu dan tempe.

Ia menilai, pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang berkepanjangan itu karena kelemahan fundamental ekonomi Indonesia, yaitu defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan.

Lebih lanjut Syaroni mengemukakan, pelemahan rupiah akan terus berlanjut mengingat berbagai indikator ekonomi saat ini tidak menguntungkan pada penguatan Rupiah.

Misalnya nilai impor yang lebih besar dari ekspor, pembayaran hutang dalam jumlah yang cukup besar dan adanya aliran dana ke luar negeri. Sehingga dengan kondisi yang demikian maka akan membuat  Indonesia akan memasuki fase krisis mata uang yang akhirnya terjadinya krisis ekonomi.

"Ambruknya rupiah tentu akan berdampak buruk bagi perekonomian. Barang-barang yang mengandung unsur impor akan terkerek naik harganya. Para debitur akan merogoh saku yang lebih dalam untuk membayar hutangnya karena pihak perbankan menaikkan suku bunga pinjaman," paparnya.

Ironisnya, sambung Syaroni, situasi gawat yang saat ini sedang dipikirkan sebagian rakyat Indonesia ternyata dianggap menguntungkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani. Dalam berbagai kesempatan Sri Mulyani mengeluarkan statemen yang tidak mencerminkan akan adanya krisis mata uang. Sri Mulyani beranggapan bahwa penurunan Rp. 100 maka akan menambah pemasukan pemerintah Rp. 1,7 triliun.

"Tentu asumsi ini berlawanan dengan rasa was-was yang saat ini menghinggapi mayoritas rakyat," paparnya.

Syaroni menegaskan, ambruknya rupiah tidak terlepas dari peran Menko Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang serampangan mengelola ekonomi Indonesia. Utang digenjot hingga hampir mencapai Rp. 5.000 triliun, impor naik tajam (impor beras, impor daging, impor garam, impor bahan infrastruktur, dan lainnya), dampaknya adalah hampir semua indikator menunjukkan tren yang memburuk.

Misalnya, transaksi berjalan sudah mengukuhkan minus US$ -4,89 miliar atau setara dengan minus -3,04 % dari GDP.  "Neraca Perdagangan (Januari-Juli 2018) juga mencatat angka defisit sebesar US$ -3,02 miliar," jelasnya.

Sebagai solusi, ujar Syaroni, maka pihaknya meminta agar Jokowi segera meredam gejolak rupiah dengan melakukan penyelematan agar tidak terjadi krisis ekonomi yang menyengsarakan rakyat. Oleh karenanya Jokowi harus segera memecat Menko Perekonimian  Darninin Nasution dan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang terbukti gagal menyelematkan rupiah. Sehingga kinerja kedua menteri tersebut tidak perlu dipertahankan.

Memburuk

Sementara itu, pengamat kebijakan publik dari Institute for Strategic and Development Studies (ISDS) M Aminuddin mengatakan, kondisi ekonomi Indonesia bisa semakin memburuk jika rezim sekarang ini terus berkuasa.

Karena dalam kasus Indonesia ada korelasi antara fluktuasi ekonomi dan moneter dengan rezim yang berkuasa. Contohnya, waktu diakhir Orde Lama (Orla), inflasi sangat tinggi dan mata uang Indonesia hancur.

"Namun begitu Ode Baru (Orba) yang dipimpin Soeharto naik menggantikan Bung Karno, rupiah menguat, harga-harga kebutuhan pokok turun lagi," paparnya.

Begitu juga, sambung Aminuddin, ketika kekuasan Orba akan runtuh pada tahun 1998, rupiah sempat menyentuh Rp 16 ribu/dolar. Akibatnya harga-harga melonjak. Namun saat Soeharto turun kekuasaan maka rupiah menguat di kisaran Rp. 8 ribu.

Selain itu harga - harga sembako juga mulai turun lagi. Oleh karenanya tidak ada  jalan lain untuk menormalkan ekonomi moneter maka harus  #2019antiPresiden. (harianterbit/Safari)
Diberdayakan oleh Blogger.