Bisnis Batu Akik, Riwayat Mu Kini ?
![]() |
Pedagang dan pengrajin batu akik sedang mengolah batu cincin pesanan pelanggan. fotojambiterbit.com |
"Dulu memang enak, apalagi pas lagi marak -maraknya, ditambah lagi masyarakat yang tak pernah tahu tentang batu jadi ikut-ikutan trend ingin memiliki batu cincin," ujar Supri (41) pengrajin batu akik yang mangkal di Jalan Raden Mattaher, Kelurahan Ekajaya, Kecamatan Jambiselatan, Kota Jambi, Minggu (2/9/2018).
Selagi membuming sekitar setahun lalu menurut warga yang tinggal di Kelurhan Kasang, Kecamatan Jambitimur, Kota Jambi tersebut, penghasilannya mengolah dan menjual batu akik bisa mencapai jutaan rupiah setiap hari, namun kini menurun drastis.
"Masih untung kalau masih dapat Rp 300 ribu per hari, nah terkadang hanya Rp 100 ribu," ujar lelaki yang mengaku baru memiliki sepasang buah hati ini.
Supri tak sendirian, setidaknya masih ada dua orang "Supri" lainnya yang mangkal di lokasi yang sama. Mereka berujar tak berbeda, malah dalam sehari bahkan pernah sama sekali tak ada pelanggan yang datang.
Sedangkan biaya operasional seperti pemakaian arus listrik terus bertambah. Mereka membayar ke PLN dengan cara patungan karena sumber arus hanya tertumpu pada satu meteran listrik pra bayar yang ditempelkan numpang di rumah kosong milik Pengusaha Taipan di pinggir jalan itu. Supri tak pakai pengaman atau masker ketika mengolah batu akik permintaan pelanggan.
![]() |
Pedagang batu akik.foto jambiterbit.com |
Dikatakan Supri, dulunya dia dan teman-teman sempat beberapa bulan mangkal di depan Lapangan Bola Kaki Persijam. Namun terpaksa pindah karena ada larangan dari pihak terkait.
"Memang kami numpang di sana, makanya pas ada larangan kami pindah dan numpang di halaman depan rumah kosong milik Pengusaha Keturunan Tiong Hoa ini," tambahnya.
Supri melanjutkan, kalau penghasilan saat ini, hanya cukup untuk biaya hidup sehari-hari. Dia mengaku buka lapak dagangan batu akik tersebut sekitar Pukul 09.00 WIB setiap hari dan tutup menjelang sholat magrib.
Seorang pelanggan tengah serius memperhatikan putaran mesin kerinda yang menggesek bongkahan batu bacan. Maman namanya, usianya sekitar 29 tahun.
Maman ingin menempah cincin dan mencari gagang yang pas."Batu ini milik saya, cuma minta pasangkan saja di gagang cincin yang baru kubeli di sini," katanya.
"Batu ini badar perak, sudah lama kusimpan dan aku hanya mencari gagang yang pas, ternyata tidak ada. Jadi terpaksa batu saya dikecilkan agar cocok dengan gagang cincin yang dijual," tambah
Maman menerangkan. Maman berpendapat kalau sepi seperti ini, lama kelamaan para pengrajin batu akan bubar. Mungkin yang hanya bertahan para pengrajin yang membuka lapak di pasar. Itupun mereka juga sambil berjualan rokok, minuman dan makanan kecil. (rizal ependi)