Permainan Waktu Kecil yang Mulai Hilang

Ilustrasi permainan petak umpet. foto Ist

Oleh : Rizal Ependi

TEKNOLOGI canggih yang lahir dari rahim negara maju perlahan menghapus jejak sejarah dan budaya masa kecil. Sebab dengan pesatnya perkembangan saluran telekomunikasi dan elektronika dewasa ini, secara serta merta dapat mempengaruhi prilaku anak bangsa.

Mereka mulai bersikap acuh dan terkesan congkak. Bahkan, seakan tak perduli dengan lingkungan di sekitarnya. Hal itu  kini mulai membudaya dalam kehidupan sehari-hari. Penyebaran prilaku "nyeleneh" inipun mulai merata, bahkan sampai ke pelosok, di desa terpencil di tepi belantara.

Lihat saja di pinggir - pinggir jalan, di pusat - pusat perbelanjaan, di tempat hiburan, di sekolah, di rumah di kamar, bahkan di kamar mandi pun mereka terus memelototi layar ukuran mini  sebuah android keluaran terbaru.  Tujuannya hanya untuk melihat informasi yang mereka anggap penting.

Ada juga yang sampai lupa makan, lupa minum, mandi dan solat. Serta lupa pula pada nama hari dan tanggal, karena terlalu memfokuskan pikiran pada konten konten di telepon selular yang mereka anggap "menarik" pada situs jejaring sosial.

Ada banyak rumah tangga yang berantakan, persahabatan dan hubungan kekerabatan  yang sampai terganggu keharmonisannya, akibat terlalu mencintai konten - konten ini. Penyebabnya karena  mereka tak mampu mengontrol prilaku dan tak bisa menjaga cara berkomunikasi yang baik terhadap sesama pengguna media sosial.

Pada anak-anak, yang dulunya selalu ceria berkumpul dan bercerita bersama teman sebaya, kini mulai menyendiri dan mengurung diri di dalam "kerangkeng" sebuah produk modern bernama gadget.

Zaman dahulu  anak-anak desa sangat akrab dengan beberapa permainan tradisional seperti,  petak umpet, kelereng, lompat yeye, layang-layang, congklak, cengklek dan engkrang. Permainan ini biasanya dimainkan bersama teman-teman sepulang sekolah dan menjadi sarana hiburan tersendiri bagi mereka.

Kemudian adalagi permainan khusus bocah lanang seperti bedilan atau cetoran, sebuah senjata mainan usang yang mirip senjata api yang terbuat dari bambu. Peluru "senjata" ini menggunakan buah kayu rotan atau bisa juga dari buah kayu angkali. Bisa juga dari gulungan kertas yang telah dibasahkan.

Untuk mainan jenis pistol juga menjadi penghibur masa kecil, biasanya terbuat dari pelepah pisang dan kertas buku tulis yang dilipat menyerupai senjata laras pendek.

Setelah itu permainan kapal-kapalan dari sabut kelapa yang dihanyutkan di selokan air dan mobil-mobilan dari potongan balok kayu yang diberi roda dari bekas sendal jepit yang dibulatkan.

Sang bocah sering juga bermain rumah rumahan, kejar-kejaran, berburu burung kutilang menggunakan ketapel, bermain yoyo dan bermain masak-masakan untuk bocah wedok, juga menjadi kesenangan tersendiri waktu itu.

Menjelang petang sehabis mandi, sebelum waktu magrib tiba, mereka berduyun-duyun pergi mengaji di surau-surau dipinggir desa.  Mereka tidak mengenal ponsel dan android atau kitab canggih, namun ditangan mereka hanya terselip kitab suci dan rotan penunjuk untuk mengaji.

Saat ini jarang lagi terlihat bocah laki-laki seumuran anak sekolah SD, yang berlari - lari sambil memukul ban sepeda bekas yang digelindingkan. Mereka lebih suka menggelar balapan liar di arena bebas dan jalan-jalan desa sampai penat menyertai dan bermandikan peluh.

Senyum tulus dan tutur sapa lembut atau sekedar menegur kawan sejawat, merupakan ciri khas bangsa Melayu. Kini budaya itu mulai terkikis dan nyaris hilang ditelan ego. Egoisme  yang diduga disebabkan kehadiran produk telepon selular yang sengaja dibuat untuk "mengubah" budaya asli pribumi pertiwi yang ramah, menjadi  golongan masyarakat individual yang pongah.

Mereka mulai bersikap cuek dan  masabodoh. Hal itu  bukan lagi menjadi sebuah prilaku yang dianggap tabuh, malah telah menjadi sebuah kebiasaan baru. Setalah beranjak remaja, mereka pun sudah jarang terlihat pergi ke mesjid untuk solat subuh, atau sekedar pergi mengaji pada malam Jumat seperti dulu.

Mereka lebih senang bermain gadget yang menyuguhkan bermacam bentuk dan jenis kartu selular. Tentu saja benda itu digunakan untuk meluncur bebas pada situs-situs internet yang sebenarnya tak begitu perlu. Kendati ada sebagian yang memang penting, namun lebih banyak konten-konten yang menyajikan informasi yang dapat menjadikan solidaritas pertemanan semakin meruncing

Ini zaman now, zaman teknologi internet, zaman keterbukaan. Mungkin inilah pernyataan menantang yang ada dibenak mereka. Bahkan di zaman keterbukaan ini,  bagian aurat manusia yang seharusnya tertutup rapat, kini  dapat dibuka selebar-lebarnya lewat browsing di saluran jaringan internasional.

Jaringan ini memang sengaja diciptakan oleh manusia - manusia pintar. Ironisnya, banyak dipakai oleh orang-orang yang kurang pandai.

Kurang pandai dalam artian kurang tepat memilih saluran dan kurang jelih dalam memilih permainan. Ini memang bukan sebuah kesalahan, namun hanya sebuah ketidakcerdasan pemakai teknologi, yang menjadikan prilaku anak bangsa berbuat tidak senonoh.

Lihat saja, seperti contoh permaianan petak umpet, saat ini telah tergantikan dengan prilaku mengumpet - umpet (bersembunyi) di sudut kamar, bahkan di belakang sekolah sambil membrowsing internet dan menonton  situs porno.

Jentikan kelereng, telah berubah menjadi  cuitan dan sentuhan pada layar sentuh sebuah ponsel guna mengkases informasi yang dianggap penting dan menarik, lalu kemudian dijadikan contoh untuk ditiru.

Permainan perang -perangan dan perburuan burung kutilang menggunakan ketapel, kini telah disulap menjadi permainan game online di rental-rental internet. Tempat ini menyajikan bermacam jenis permainan game perang. Suaranya menggelegar, keluar dari moncong senjata visual pada layar datar satu unit perangkat komputer.

Permainan yang ditawarkan ini terkadang menyita waktu belajar siswa. Anak-anak sekolah rela membolos hanya untuk bermain game. Ironisnya, sebuah tas rangsel sekolah yang dulunya hanya berisi buku pelajaran dan alat tulis, kini harus dipaksa memuat beberapa unit telepon selular, android, ipad, tablet bahkan komputer jinjing.

Mereka terkadang berani membohongi orang tua dengan beragam alasan. Padahal, itu hanya kilah mereka untuk mendapatkan banyak waktu mem- browsing situs internet. Mereka berdalih bermain internet untuk belajar secara online, pada hal hanya alasan agar mendapat izin dari orang tua.

Para orang tua pun mengizinkan anak-anaknya, sehingga mereka dapat leluasa meluncur bebas di situs cerdas yang jika disalahgunakan bakal membuat masa depan kandas.

Zaman bengen, sehabis jajan di sekolah jika terkena diare, flu atau masuk angin, sebelum pergi ke puskesmas, biasanya anak -anak desa diajak orang tuanya menemui dukun kampung atau seorang mantri desa, untuk minta diobati.

Namun saat ini profesi dukun kampung juga telah "digantikan" dengan teknologi canggih yang oleh masyarakat tertentu dinamai dengan istilah mbah google. Sekali browsing di mbah google akan diperoleh seribu satu macam informasi jenis penyakit plus obat penawarnya.

Bahkan pada akhirnya, mbah google juga menyarankan untuk pergi ke dokter atau puskesmas terdekat jika penyakit yang diderita masih belum dapat disembuhkan.

Satu sisi berinteraksi dengan masyarakat menggunakan layanan internet memang baik. Apalagi jika account media sosial kita telah tertulis ribuan kontak pertemanan. Namun sejujurnya itu adalah teman dunia tidak nyata, karena secara tidak langsung media sosial telah memutuskan jalinan peresahabatan yang seutuhnya.

Contoh kecil ada seorang teman yang sakit dan dirawat di rumah sakit. Tempat tinggalnya masih berada dalam satu kecamatan atau satu kelurahan, sudah selayaknya dikunjungi barang sesaat. Jangan hanya mengirimkan doa agar si sakit lekas sembuh lewat jejaring sosial.

Padahal, sebelum adanya media sosial, istilah membesuk orang yang sakit itu masih berlaku. Memang tak semua orang melakukan hal itu, namun jumlah "pemutus" tali silatuhrahmi ini kian hari semakin bertambah. Hal itu tak hanya terjadi pada anak-anak dan remaja, namun orang dewasa juga telah melakoninya.

Bahkan prilaku tersebut telah menjalar kepada masyarakat yang  nota benenya memiliki pendidikan tinggi. Jadi, kehadiran teknologi canggih ini dibarengi dengan dua sisi yang saling bertentangan, tinggal lagi kita sebagai pemakai harus memilih, mana yang lebih bermanfaat. (*)

Diberdayakan oleh Blogger.