Kasus Penistaan Agama, MA Diminta Menolak PK Ahok untuk Cegah Kemarahan Umat Islam

Aksi Umat Islam. Foto Ist

JAMBITERBIT.COM, JAKARTA - Terpidana kasus penistaaan agama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengajukan memori Peninjauan Kembali (PK) melalui Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Sejumlah kalangan memperkirakan, pengajuan PK mantan Gubernur DKI Jakarta ini akan kembali memancing kemarahan umat Islam seperti pilkada DKI lalu. Karenanya Mahkamah Agung diminta menolak PK tersebut. Disisi lain pengajuan PK justru akan memperberat hukuman kepada Ahok dari vonis dua tahun yang diberikan Majelis Hakim PN Jakarta Utara.


"Iya pastinya umat Islam akan marah kalau PK Ahok dikabulkan MA, apalagi vonis hukuman dua tahun yang diberikan Majelis Hakim PN Jakarta Utara sebelumnya  tidak maksimal. Saya termasuk yang protes, banyak umat Islam juga protes. Tapi suara umat Islam tidak digubris aparat hukum," kata anggota Komisi III DPR RI, Muslim Ayub kepada Harian Terbit di Jakarta, Senin (19/2/2018).

Legislator Partai Amanat Nasional (PAN) ini mengatakan, sebaiknya MA menolak kasasi Ahok, karena status hukum Ahok sudah inkrah (berkekuatan hukum tetap). “Kalau MA menerima PK itu lalu Ahok bebas, tentui umat Islam yang merasa agamanya sudah dihina, akan marah. Tentu situasi ini akan membuat kegaduhan seperti pilkada DKI lalu. Rakyat menginginkan situasi politik tenang dan kondusi,” papar politisi daerah pemilihan Aceh ini.

Pengadilan Negeri Jakarta Utara akan memulai persidangan peninjauan kembali atas kasus penodaan agama yang dilakukan Ahok pada Senin (26/2/2018).

"Persidangannya akan dilakukan Senin tanggal 26 Februari 2018. Hari Senin, seminggu yang akan datang," kata Jootje Sampaleng dari Humas Pengadilan Negeri Jakarta Utara di kantornya, Senin (19/2/2018).

Jootje menjelaskan, persidangan tersebut akan digelar di PN Jakarta Utara, Jalan Gajah Mada, Jakarta Pusat, dan dapat disaksikan masyarakat umum.

Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung Abdullah membenarkan bahwa terpidana Ahok telah mengajukan memori Peninjauan Kembali. Berkas dimasukkan melalui Pengadilan Negeri Jakarta Utara. "Saat ini belum diterima berkasnya oleh MA," ujar Abdullah di Jakarta, Minggu (17/2/2018).

Menolak

Sementara itu pengasuh Pondok Pesantren Al Umar, Cileungsi, Bogor, Ustad Zaenuri mengatakan dirinya menolak jika sampai MA mengabulkan PK Ahok sehinga dibebaskan.

"Pada dasarnya menolak dan mencegah timbulnya kerusakan itu lebih baik daripada mengambil faedah manfaat. Dalam hal ini jika Ahok dapat kompensasi apakah semua elemen masyarakat bergembira? Jawabannya sebagian besar masyarakat Indonesia akan demo. Karena mayoritas di bumi pertiwi ini adalah Islam yang cinta dan patuh terhadap Ulama," ujar Zaenuri kepada Harian Terbit di Jakarta, Selasa (20/2/2018).

Terpisah,  Ustad Abdul Fikri Faqih saat dihubungi mengatakan, semua warga negara tentu punya hak yang sama di hadapan hukum, termasuk hak untuk mengajukan proses hukum seperti peninjauan kembali (PK) bagi WNI yang bernama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.

"Hanya kalau ditinjau dari aspek sosial politik, sesungguhnya kan masalah Ahok itu tidak hanya satu, menista agama saja, tapi banyak, diantaranya adalah temuan yang tertuang pada LHP BPK masalah jual beli lahan RS Sumber Waras, masalah reklamasi bahkan masalah megaproyek E KTP yang juga menyebut nama dia ikut terlibat," tegas Fikri.

Ustad yang juga anggota DPR RI dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menerangkan seharusnya aparat hukum berlaku adil. "Karenanya bila muncul nama Ahok lagi, sama dengan mengungkit masalah seabreg yang sesungguhnya harus diproses secara hukum, namun dengan menggunakan azas oportunitas dalam hukum maka tidak diungkit lagi. Suasana akan terus kisruh," pungkasnya.

Permainan

Sementara itu, Tim Pembela Ulama dan Aktivis menilai langkah hukum PK yang dilakukan terpidana Ahok, merupakan permainan hukum yang jahat.

Ketua Umum TPUA Eggi Sudjana mengatakan, pengajuan PK seharusnya memenuhi tiga unsur penting sebelum didaftarkan ke Mahkamah Agung (MA). Ketiga unsur itu, kata dia, adalah novum, adanya kehilafan hakim, dan penerapan hukum yang tidak sistematis dan berbeda-beda.

"Nah, ini yang kita cermati sebagai TPUA. Saya merasa ini permaianan hukum jahat. Semoga ada perbaikan penegakan hukum baik di negara ini," kata Eggi di Jakarta, Senin (19/2/2018).

Eggi menjelaskan, PK seharusnya diajukan oleh korban peradilan. Sementara, sambungnya, Ahok merupakan pelaku penodaan agama yang telah mengakui perbuatannya dan mendapat vonis dua tahun penjara. Mantan Bupati Belitung Timur itu juga tidak mengajukan banding setelah divonis bersalah.

"Ahok kita tahu semua bahwa fakta hukumnya menerima hukuman yang dua tahun penjara oleh PN Jakarta Utara dan tidak banding. Dengan Ahok menerima putusan tersebut, ini membuktikan bahwa secara formil dan materiil gugur hak Ahok dalam melakukan PK," tegasnya.

Ia menjelaskan, berdasarkan fakta hukum dengan tidak mengajukan banding itulah dapat dipastikan tidak ada kekhilafan hakim dalam memutus perkara ini. Vonis dua tahun penjara, kata Eggi, tidak memiliki kekeliruan dalam putusannya.

"Pertanyaannya bagaimana mungkin ada PK? Banyak juga PK untuk urusan buruh tapi tidak langsung disidangkan. Kok beda dengan Ahok ini," imbuhnya.

Ahok menjalani hukuman dua tahun penjara setelah Majelis Hakim PN Jakut memvonis Ahok yang dinilai bersalah dalam perkara penodaan agama terkait pernyataannya soal surat Al-Maidah ayat 51. Saat ini Ahok mendekam di Rumah Tahanan Mako Brimob, Depok, Jawa Barat.

Terkait kebenaran pengajuan memori PK tersebut, Anggota tim kuasa hukum Ahok, Wayan Sudirta, mengaku belum mengetahui penyerahan berkas memori PK putusan pengadilan Negeri Jakarta tanggal 9 Mei 2017 Nomor 1537/Pid.B/2016/PN.Jkt.Utr.

Tim kuasa lainnya, Teguh Samudra, mengatakan belum ada pertemuan seluruh pengacara yang ditunjuk menangani kasus pidanaAhok. Langkah hukum lanjutan, termasuk PK yang melibatkan tim kuasa hukum Ahok belum pernah didiskusikan.

"Mungkin itu inisiatif dari keluarga Pak Ahok melalui adiknya yakni Bu Fifi Letty yang juga sekaligus kuasa hukum," ungkap Teguh.



Penulis  : Sammy / Danial
Sumber  : harian terbit.com
Diberdayakan oleh Blogger.