Berlindung Dibalik Seuntai Kata



 (Oleh : Rizal Ependi)

Lahan parkir kantor kepala daerah itu masih basah ketika sebuah mobil keridit menggilas tetesan embun rumput taman ke aspal pagi itu.

Dengan tas rangsel di punggung, pria berperawakan tinggi gelap melangkah pasti mengejar mentari yang mulai tumbuh menyeruak dari sela sudut atas Patung Sultan Thaha Saiffuddin.

Setapak demi setapak ubin berkilat dihempas sebuah sepatu karet tanpa jejak. Sedikit terengah setiba di pintu ruangan yang mulai terbuka, seuntai kata lirih terucap dengan harapan mendapat petuah untuk mengisi belanga yang mulai menyusut.

Untaian kata berbalas, menjelma menjadi sebuah harapan yang nyata. Bulan ketiga tahun baru ini teramat indah. Tak ada yang mengusik, karena penghalang telah dicekik.

Peluh mengalir mulai mengering mendengar jawaban yang tak pernah berpaling. Jawaban hasil bujukan dengan sedikit imbalan itu akan menjadi secercah harapan guna penuhi isi belanga dan pundi yang tinggal separo.

Senyum sumringah tampak mengembang disela bibir coklat yang masih terselip selinting tembakau kering.

Langkahpun berbalik, harapan menggunung menanti hasil tuaian melimpah kendati menyayat kawan seiring meninggalkan luka yang menganga. Dasar licik, berfikir picik. Seribu serangan ditebar dengan jurus pemungkas yang jitu.

Berhasil, ya akhirnya berhasil. Puluhan telunjuk mengarah ke hati. Membentuk sebuah pembenaran dari seluruh kesalahan yang lama tersimpan.

Melempar batu sembunyi tangan. Sekitarnya melihat, melihat kenyataan yang ada. Bukalah mata hati, berfikir jernih dan renungkan, lalu bandingkan. Bandingkanlah antara besi dan karat, emas dan tembaga, air dan minyak serta api dan bara. Bahaya!

Diam bukan berarti kalah, namun sebuah kemenangan yang bias. Petua dulu, ketimbang membesarkan anak srigala, baiknya memelihara bayi kelinci, kelak menjadi besar terlihat indah dan menggemaskan.

Kelinci dapat bermain dirumput hijau, memakan sayur menta tanpa campur bahan kimia. Namun srigala menggigit kulit hingga ke tulang, jantung dan limpah hingga ke rempela. Seiring berjalannya waktu, sisa semangat yang mulai bias dijadikan cambuk.

Cambuk untuk menangkal fakta yang diputar. Diputar demi keamanan, diputar demi kebebasan dan diputar demi kesuksesan semu yang nantinya menjadi pemicu untuk merebut palu dari tangan tuan yang tengah beradu.

Bangunlah tuan, bangunlah sebelum mimpi semu itu membuat tuan berseru dalam kegaduhan. Kegaduhan yang akan membuat tuan kehilangan tempat berteduh. (Penulis Adalah Jurnalis Tinggal di Jambi)
Diberdayakan oleh Blogger.