Mungkir Engkau, Maka Kupancung !

Contoh Jurnalisme Majalah

Tulisan ini Terbit di Majalah Detektif & Romantika (D&R), 30 Agustus 1997

Halaman 103,   Rubrik  : Kriminalitas

Penulis : my teacher (ML)

============================================================


Lantaran tersinggung dan merasa disepelekan, seorang pedagang es keliling nekat menebas leher rekannya sampai putus. Dan, kepala korban itu, masya Allah, menggelinding di atas lantai.

Kalau ada kasus pembunuhan yang lumayan sadis, tetapi cukup gampang diungkap barangkali inilah: aksi pembantaian Jainul Bakri (29) tahun, oleh Rusdi. Dikatakan pembantaian karena modus pembunuhan itu terbilang nekat, sekaligus sadis.

Kisahnya, dimulai dari obsesi Rusdi pedagang es keliling di Dusun Kepahyang, Desa Muaramerang, Bayunglencir, Musibanyuasin, Sumatera Selatan. Pria berumur 32 tahun dan beranak dua itu rupanya ingin menambah pendapatannya dengan cara membeli perahu tempel.

Alasan Rusdi sedernaha : pembeli minuman dinginnya kebanyakan penghuni rumah rakit yang tinggal di sepanjang Sungai Bayunglencir. Mustahil Rusdi membeli gerobak dorong semacam es krim Walls.

Untuk memenuhi cita-citanya, Rusdi terpaksa menjual rumah rakit miliknya Rp 125 ribu. Nah, orang yang mau membeli itu kebetulan rekannya sendiri, Jainul Bakri. Sesuai dengan kesepakatan, pada awal April 1997, Jainul membayar dulu Rp 75 ribu. Dan sisanya, Rp. 50 ribu, akan dilunasi palinglambat dua minggu lagi.

Namun kemudian, Jainul ternyata memungkiri janji. Hingga lewat dua minggu, tak sepeserpun uang diterima Rusdi. Juga tidak sepotong alasan. Bahkan hingga sebulan, dua bulan, Jainul tetap saja ingkar.

Memasuki bulan ketiga, kesabaran Rusdi makin menyusut. Apalagi, setiap kali didatangi, Jainul selalu mengecewakannya. “Yang membikin tersinggung, dia selalu menunjukan sikap congkaknya setiap kali aku tagih. Dia sepertinya menganggap utang sebesar itu kecil”, ujar Rusdi dalam pemeriksaan polisi.

Begitulah. Singkat cerita, pada Senin, 14 Juli 1997 itu, Rusdi sedang mengambil bubuk gergajian kayu untuk pengawet es dagangannya. Ketika menambatkan perahunya dekat pabrik kayu, secara tak sengaja Rusdi melihat Jainul sedang bermain judi bersama tiga orang temannya.

Mereka adalah Paidi, Syarifuddin dan Cik Mat, pemilik rumah panggung itu. Karena penasaran, Rusdi mendekati meja judi, dan di sana ia melihat setumpuk uang di dekat Jainul. Wah, tampaknya Jainul sedang hoki. Dia lagi menang pikir Rusdi. Itu artinya, dia bisa menagih piutangnya.

Namun, meski sudah setengah jam duduk di situ, Rusdi merasa kehadirannya tak dianggap. Jainul apalagi. Jangankan membayar utang, sepotong basa basipun tak keluar dari mulutnya. Ia hanya menyodorkan sebatang rokok, tanpa menoleh.

Merasai kekurangajaran Jainul, naiklah darah Rusdi ke ubun-ubun. Tanpa pamit, dia meninggalkan tempat judi, balik ke perahunya. Di atas perahu, sempat Rusdi menghembuskan asap rokoknya dengan hati kesal. Semakin teringat muka Jainul, semakin mendidih darahnya.  

Rupanya, pada saat itulah setan merasuk. Seperti warga setempat yang biasa membawa senjata, Rusdi memang menyimpan sebilah parang di dasar perahunya. Maka begitu rokoknya habis, pria berkulit putih dan bertubuh atletis itu langsung menilap parang sepanjang 60 sentimeter  dibalik bajunya. Setelah itu, ia kembali mendatangi Jainul dan kawan-kawannya berjudi.   

Tidak tampak kecurigaan pada Jainul maupun rekan-rekannya di rumah panggung Cik Mat. Bahkan, seperti sebelumnya, kehadiran Rusdi tetap dicuekin. Wajar saja. Siapa yang mengira, Rusdi si pedagang es yang dikenal pendiam itu bakal melakukan tindakan sadis?

Namun, orang-orang kali ini memang salah sangka. Benar – benar salah duga. Tak seorangpun dapat mencegah, ketika peristiwa itu terjadi. Jainul agak membungkuk ketika mengambil kartu remi  yang dibagikan. Secara tiba-tiba Rusdi mencabut parangnya dan mengayunkannya sekuat tenaga ke kepala musuhnya.

Maka, tanpa ampun, parang seberat tiga kilogram itu menghujam tepat mengenai tengkuk sebelah kiri. “Craatt!”,  darah muncrat kemana-mana. Kepala Jainul terbang lepas dari tubuhnya, lalu jatuh, dan berguling-guling di atas lantai. Mengerikan, memang.

Untuk beberapa saat, tubuh tanpa kepala itu duduk dalam posisi memegang kartu remi, sebelum roboh bersimbah darah. Melihat kengerian itu, ketiga teman Jainul kontan kabur  sambil menjerit-jerit minta tolong. Dalam waktu singkat, tempat kejadian dipenuhi warga yang ingin menonton ajang pembantaian itu.  

Adapun Rusdi, tukang es yang mendadak jadi pembunuh itu, diketahui kabur dengan memakai speed boad . Sebilah parang berlumuran darah ditentengnya memasuki kantor Polisi Sektor Bayunglencir.

Kepada penyidik, Rusdi tanpa berbelit-belit mengakui perbuatannya. Bahkan, dengan nada getir Rusdi mengaku menyesal telah membunuh Jainul. “Saya emosi, pak. Untuk itu saya siap mempertanggungjawabkan perbuatan itu secara hukum.” ujar Rusdi kepada polisi.

Nah, pembaca, sepotong pesan ini kira-kira layak disimak. Hati – hati terhadap orang yang kelihatannya  dingin dan pendiam, sebab jika hatinya panas, bisa – bisa sebilah parang mengarah ke kepala. ***


Diberdayakan oleh Blogger.