Mengapa Netanyahu Cepat Akhiri Serangan di Jalur Gaza?
Perdana Menteri Benjamin Netanyahu meluncurkan serangannya yang mematikan di Jalur Gaza
dalam waktu yang relatif singkat: hanya dua hari. Walaupun banyak
mengakibatkan kematian warga Palestina, tapi tetap saja serangan Israel
ini dianggap cepat yang membuat Netanyahu menerima kritikan dari
kelompok yang lebih keras di Israel. Sementara itu ada berbagai
spekulasi tentang keputusan Netanyahu ini, termasuk bahwa tentara Israel
tidak mau melakukan pertempuran darat di Gaza.
Oleh: Motasem A Dalloul (Middle East Monitor)
Saat ditanya oleh Army Radio hari ini apakah “masalah” Gaza memiliki solusi, mantan kepala Dewan Keamanan Nasional Israel, Yaakov Amidror, merujuk pada kekuasaan Hamas di Gaza lalu menjawab: “Tidak, tidak ada cara untuk mengeluarkan Hamas dari Gaza tanpa benar-benar mengalahkannya.” Tetapi dia tidak menyebutkan apa-apa tentang perdana menteri dan menteri pertahanan negaranya yang tidak siap untuk misi seperti itu.
Ini terjadi sekitar satu minggu setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melakukan serangan brutal di Jalur Gaza yang hanya berlangsung dua hari dan yang tujuannya adalah untuk mencegah perlawanan Palestina. Netanyahu tidak hanya mendapatkan dukungan selama serangannya, tetapi ia juga menerima “100 persen dukungan” dari negara terkuat di dunia.
“Sekali lagi, Israel menghadapi rentetan serangan roket mematikan oleh kelompok-kelompok teroris Hamas dan Jihad Islam,” tulis Presiden Amerika Donald Trump di Twitter, membenarkan serangan Israel dengan menggambarkannya sebagai pertahanan terhadap serangan roket negara lain yang setara dengan tentara dan kekuasaan. “Kami mendukung Israel 100 persen dalam membela warganya,” tambahnya.
Palestina dan Israel memiliki pandangan yang berbeda mengenai seberapa cepat serangan Netanyahu di daerah kantong pantai itu berakhir.
Bagi Palestina, pengeboman terus-menerus terhadap Gaza akan menyebabkan tekanan internasional terhadap Netanyahu sebagai akibat dari kematian warga sipil.
“Jika dia melanjutkan serangannya, dia akan melakukan lebih banyak kejahatan di antara warga sipil dan ini mungkin membangkitkan kemarahan internasional terhadapnya,” Waleed Al-Agha, seorang spesialis dalam urusan Israel mengatakan kepada MEMO.
Dia juga mengatakan bahwa Netanyahu takut bahwa dia mungkin tidak akan mencapai prestasi nyata jika dia melanjutkan serangan dan ini akan merusak posisinya sebagai pemimpin faksi yang ditunjuk untuk membentuk pemerintahan.
“Dia memegang kementerian pertahanan dan jika dia kalah atau tidak mencapai apa-apa dari serangan seperti itu, dia mungkin akan kehilangan kesempatan untuk membentuk pemerintah,” kata Al-Agha.
Wisam Afifa, editor surat kabar Al-Resalah yang berbasis di Gaza, mengatakan bahwa Netanyahu mungkin sibuk dengan “sesuatu yang lebih besar, yaitu Iran dan tentara proksinya―Hizbullah.”
Sementara itu, Mohammad Mardawi mengatakan bahwa Netanyahu terkejut dengan kemampuan “kualitatif” dari perlawanan Palestina dan mengonfirmasi bahwa ini mungkin menjadi alasan mengapa Netanyahu mengakhiri serangan secepat mungkin.
Namun, kritikus Israel Jonathan Tobin dari Jewish News Syndicate mengklaim bahwa Netanyahu berusaha menyelamatkan Gaza dari “tirani Islam”, tapi ini bukan urusannya.
Jadi, dia gagal melaksanakan misi itu dari waktu ke waktu dan “memungkinkan Hamas untuk secara berkala meneror banyak penduduk Israel tanpa melakukan apa pun untuk mengakhiri masalah.
”Profesor Israel Yoram Yuval menulis di Ynet News bahwa Netanyahu adalah perdana menteri yang lemah ketika menyangkut upaya untuk memisahkan Jalur Gaza dari Tepi Barat untuk “terus mengklaim bahwa tidak ada seorang pun di pihak Palestina yang bisa diajak berunding, sehingga menghindari setiap pengaturan perdamaian yang akan membutuhkan pengembalian wilayah dan evakuasi permukiman.”
“Setelah kami membiarkan Hamas tumbuh dan mengakar sendiri selama lebih dari satu dekade, upaya untuk mengusirnya dari Jalur Gaza selamanya bisa mengorbankan ratusan tentara.”
Tetapi tampaknya alasan sebenarnya dari mundurnya Netanyahu di Gaza adalah keengganan tentara Israel untuk memasuki daerah kantong pantai. “Apa yang Anda inginkan dari saya?” kata Yuval mengutip Netanyahu. “Tentara enggan terlibat dalam pertempuran darat, dan mereka mengatakan kepada saya untuk memperbaiki kondisi di Gaza sehingga warga Gaza bisa kehilangan sesuatu, dan itulah yang saya lakukan.”
Bernard Avishay dari New York menulis bahwa mengelola “pecahnya kekerasan berkala” adalah pilihan terbaik bagi Netanyahu untuk menghadapi musuh seperti Hamas di Gaza.
“Netanyahu jelas ingin pengamat percaya bahwa, dengan musuh seperti itu, pemerintahnya tidak punya pilihan selain mengelola pecahnya kekerasan secara berkala—perumpamaan militernya: ‘memotong rumput’.
“Tapi dia juga menyemai rumput tersebut―menyebarkan dendam dari mana dukungan Hamas tumbuh,” dia memperingatkan.
Sumber : matamatapolitik.com
Oleh: Motasem A Dalloul (Middle East Monitor)
Saat ditanya oleh Army Radio hari ini apakah “masalah” Gaza memiliki solusi, mantan kepala Dewan Keamanan Nasional Israel, Yaakov Amidror, merujuk pada kekuasaan Hamas di Gaza lalu menjawab: “Tidak, tidak ada cara untuk mengeluarkan Hamas dari Gaza tanpa benar-benar mengalahkannya.” Tetapi dia tidak menyebutkan apa-apa tentang perdana menteri dan menteri pertahanan negaranya yang tidak siap untuk misi seperti itu.
Ini terjadi sekitar satu minggu setelah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu melakukan serangan brutal di Jalur Gaza yang hanya berlangsung dua hari dan yang tujuannya adalah untuk mencegah perlawanan Palestina. Netanyahu tidak hanya mendapatkan dukungan selama serangannya, tetapi ia juga menerima “100 persen dukungan” dari negara terkuat di dunia.
“Sekali lagi, Israel menghadapi rentetan serangan roket mematikan oleh kelompok-kelompok teroris Hamas dan Jihad Islam,” tulis Presiden Amerika Donald Trump di Twitter, membenarkan serangan Israel dengan menggambarkannya sebagai pertahanan terhadap serangan roket negara lain yang setara dengan tentara dan kekuasaan. “Kami mendukung Israel 100 persen dalam membela warganya,” tambahnya.
Palestina dan Israel memiliki pandangan yang berbeda mengenai seberapa cepat serangan Netanyahu di daerah kantong pantai itu berakhir.
Bagi Palestina, pengeboman terus-menerus terhadap Gaza akan menyebabkan tekanan internasional terhadap Netanyahu sebagai akibat dari kematian warga sipil.
“Jika dia melanjutkan serangannya, dia akan melakukan lebih banyak kejahatan di antara warga sipil dan ini mungkin membangkitkan kemarahan internasional terhadapnya,” Waleed Al-Agha, seorang spesialis dalam urusan Israel mengatakan kepada MEMO.
Dia juga mengatakan bahwa Netanyahu takut bahwa dia mungkin tidak akan mencapai prestasi nyata jika dia melanjutkan serangan dan ini akan merusak posisinya sebagai pemimpin faksi yang ditunjuk untuk membentuk pemerintahan.
“Dia memegang kementerian pertahanan dan jika dia kalah atau tidak mencapai apa-apa dari serangan seperti itu, dia mungkin akan kehilangan kesempatan untuk membentuk pemerintah,” kata Al-Agha.
Wisam Afifa, editor surat kabar Al-Resalah yang berbasis di Gaza, mengatakan bahwa Netanyahu mungkin sibuk dengan “sesuatu yang lebih besar, yaitu Iran dan tentara proksinya―Hizbullah.”
Sementara itu, Mohammad Mardawi mengatakan bahwa Netanyahu terkejut dengan kemampuan “kualitatif” dari perlawanan Palestina dan mengonfirmasi bahwa ini mungkin menjadi alasan mengapa Netanyahu mengakhiri serangan secepat mungkin.
Namun, kritikus Israel Jonathan Tobin dari Jewish News Syndicate mengklaim bahwa Netanyahu berusaha menyelamatkan Gaza dari “tirani Islam”, tapi ini bukan urusannya.
Jadi, dia gagal melaksanakan misi itu dari waktu ke waktu dan “memungkinkan Hamas untuk secara berkala meneror banyak penduduk Israel tanpa melakukan apa pun untuk mengakhiri masalah.
”Profesor Israel Yoram Yuval menulis di Ynet News bahwa Netanyahu adalah perdana menteri yang lemah ketika menyangkut upaya untuk memisahkan Jalur Gaza dari Tepi Barat untuk “terus mengklaim bahwa tidak ada seorang pun di pihak Palestina yang bisa diajak berunding, sehingga menghindari setiap pengaturan perdamaian yang akan membutuhkan pengembalian wilayah dan evakuasi permukiman.”
“Setelah kami membiarkan Hamas tumbuh dan mengakar sendiri selama lebih dari satu dekade, upaya untuk mengusirnya dari Jalur Gaza selamanya bisa mengorbankan ratusan tentara.”
Tetapi tampaknya alasan sebenarnya dari mundurnya Netanyahu di Gaza adalah keengganan tentara Israel untuk memasuki daerah kantong pantai. “Apa yang Anda inginkan dari saya?” kata Yuval mengutip Netanyahu. “Tentara enggan terlibat dalam pertempuran darat, dan mereka mengatakan kepada saya untuk memperbaiki kondisi di Gaza sehingga warga Gaza bisa kehilangan sesuatu, dan itulah yang saya lakukan.”
Bernard Avishay dari New York menulis bahwa mengelola “pecahnya kekerasan berkala” adalah pilihan terbaik bagi Netanyahu untuk menghadapi musuh seperti Hamas di Gaza.
“Netanyahu jelas ingin pengamat percaya bahwa, dengan musuh seperti itu, pemerintahnya tidak punya pilihan selain mengelola pecahnya kekerasan secara berkala—perumpamaan militernya: ‘memotong rumput’.
“Tapi dia juga menyemai rumput tersebut―menyebarkan dendam dari mana dukungan Hamas tumbuh,” dia memperingatkan.
Sumber : matamatapolitik.com