Politik Memanas, Jelang Pencoblosan Aksi Bagi-bagi Uang dan Intimidasi Marak
![]() |
Selain itu, 18 hari jelang pemilu, kegiatan ‘serangan fajar’ atau bagi-bagi uang ditengarai semakin gencar dilakukan.
Pengakuan anggota DPR dari Fraksi Partai Golkar Bowo Sidik Pangars setelah ditangkap KPK menyiapkan 400.000 amplop berisi uang Rp20 ribu dan Rp50 ribu dalam 84 kardus untuk "serangan fajar" pada 17 April 2019 demi meraih kursi DPR, semakin membuktikan aksi bagi-bagi uang atau money politics kepada masyarakat memang benar adanya.
Tak hanya itu, situasi politik semakin memanas juga dipicu oleh pernyataan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) AM Hendropriyono yang menyebut Pilpres 2019 ini adalah pertarungan dua ideologi yakni Pancasila dan Khilafah.
Perpecahan Direktur Materi Debat BPN Prabowo-Sandi, Sudirman Said, mengingatkan kepada pihak-pihak yang terus menyebarkan pandangan bahwa Prabowo didukung organisasi berpaham khilafah, untuk berhenti menyebarkan kabar bohong itu.
"Saya ingatkan agar dihentikan karena itu bukan saja fitnah namun sudah dorongan ke arah perpecahan," ujarnya.
Sementara itu, pengamat politik Indonesian Public Institute (IPI) Jerry Massie mengakui, mendekati hari pencoblosan , aksi intimidasi, provokasi dan ‘serangan fajar atau bagi-bagi uang memang semakin marak.
Semua pelanggaran pemilu tersebut terjadi karena sudah menjadi darah daging baik intimidasi, intervensi money politics sampai mobilisasi massa dalam politik tanah air. "Sejak ditumbangkannnya Orde Baru (Orba) gaya seperti ini kerap muncul. Apalagi dengan lemahnya UU Pemilu sehingga membuat hal seperti biasa saja.
Atau dengan kata lain UU Pemilu tak bertaji. Karena praktek kotor dan politik haram terus bergulir," ujar Jerry Massie kepada Harian Terbit, Jumat (29/3/2019). Jerry menuturkan, provokasi sudah menjadi penyakit Pemilu sama seperti money politik.
Apalagi bagi pelaku maka pelanggaran - pelanggaran Pemilu yang dilakukannya menjadi hal yang biasa. Menurutnya, kalau UU Pemilu lemah maka jangan mimpi atau harap kepemiluan yang terjadi di Indonesia bisa berjalan dengan baik tapi justru malahan mundur. Karena hingga kini pelaku money politik di pemilu tidak ada yang masuk penjara terutama pelaku money politik.
"Maraknya pelanggaran pemilu karena Undang-Undang Pemilu tidak jelas," paaprnya. Intimidasi Verbal Sementara itu, Ketua Presidium Perhimpunan Masyatakat Madani (Prima) Sya'roni memaparkan, jika intimidasi atau provokasi secara fisik memang hingga kini belum ditemukan. Tapi secara verbal sudah ada intimidasi, provokasi dan ‘serangan fajar yang dialami masyarakat.
Misalnya, pernyataan Menko Polhukam Wiranto bahwa penyebar hoaks bisa dijerat UU Terorisme atau penggiat Golput bisa dijerat UU ITE. Selain itu juga ada pernyataan Presiden Jokowi ketika kampanye di Yogyakarta yang akan melawan pihak-pihak yang memfitnahnya.
Kedua pernyataan tersebut bernada menyeramkan, seakan-seakan negara ini dalam keadaan gawat. Pernyataan tersebut bisa menyulut keresahan masyarakat. Apalagi sebelumnya, Kepala KSP Moeldoko juga menyatakan perang total di Pemilu 2019.
"Soal serangan fajar, kasus OTT yang menimpa Bowo Sidik Pangarso membuktikkan bahwa bagi-bagi duit itu nyata," paparnya.
Sya'roni menilai, banyaknya pihak - pihak yang melakukan atau mendukung Prabowo sebagai presiden karena dalam posisi terdesak selalu memunculkan tindakan - tindakan yang tidak rasional. Elektabilitas inkumben terus menurun, padahal Jokowi merasa selama 4,5 tahun ini sudah bekerja untuk rakyat.
Tapi nyatanya rakyat tidak mengapresiasi. Jokowi bersama pendukungnya juga marah dan menuduh hoaks sebagak biang keladinya. "Mestinya daripada marah-marah, Jokowi lebih baik instropeksi diri dan melihat secara jujur hasil kerjanya selama ini.
Bila tidak mampu melihat, bisa meminta tolong pihak independen untuk menilai pemerintahannya," jelasnya Menurutnya, semakin turunnya elektabilitas Jokowi di bawah 50 persen, membuktikkan mayoritas rakyat tidak tertarik lagi dengan kepemimpinannya. "Jadi trennya (incumbent bakal tamat) menuju ke arah sana?" jelasnya. (Harian Terbit/Safari)