Korupsi Massal, Indikasi Gangguan Otak?
![]() |
foto ist |
Melansir Liputan6.com, Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan 22 orang anggota DPRD Kota Malang
sebagai tersangka dugaan suap dan gratifikasi terkait pembahasan
nominal anggaran dalam sejumlah proyek di Malang. Sebelumnya, sudah ada
19 orang yang ditetapkan tersangka oleh KPK. Kini jumlah terduga kasus
tersebut ada 41 orang.
Menariknya, kasus tersebut melibatkan 90
persen anggota DPRD Kota Malang. Sekarang hanya tersisa empat anggota
DPRD yang tidak tersangkut kasus tersebut. Korupsi massal tersebut
kemudian menjadi berita utama sejumlah media. Banyak yang
bertanya-tanya, mengapa bisa 90 persen anggota dewan perwakilan rakyat
itu terjerat korupsi. Lalu, terkait hal ini, adakah kemungkinan bahwa
korupsi terjadi karena ada sangkut-pautnya dengan gangguan otak?
Korupsi dan gangguan otak
Dilansir South China Morning Post,
para peneliti mengungkap, terdapat bagian di otak yang memang
bertanggung jawab terhadap perilaku menyimpang manusia terhadap
norma-norma sosial, termasuk korupsi.
Sejak lama, para ilmuwan telah mencoba
mencari tahu jawaban mengenai hal itu. Mereka berusaha menemukan suatu
mekanisme yang dapat menjelaskan mengapa seseorang berperilaku
menyimpang dari norma-norma sosial.
Kemudian, pada 2014, sebuah penelitian
dari Tiongkok menyatakan bahwa orang bisa melakukan korupsi karena
dipengaruhi bagian otak kiri yang disebut gyrus frontal left inferior.
Tim yang dipimpin oleh Profesor Li Shu dari Institute of Psychology di Chinese Academy of Sciences menemukan peningkatan stimulasi bagian otak saat seseorang menerima suap seiring jumlah uang yang ditawarkan.
Untuk menguatkan bukti akan hal itu,
para peneliti merancang permainan untuk 28 relawan. Setiap relawan
ditawarkan sejumlah uang secara bertahap, mulai dari 8 yuan hingga 3.000
yuan. Relawan tersebut lalu ditempatkan ke dalam mesin pemindai otak (magnetic resonance imaging/MRI) sambil mengikuti permainan. Selanjutnya aktivitas otak mereka juga dicatat.
Di setiap stimulasi penawaran, relawan
mendapat pertanyaan: apakah mau menerima suap? Jika menekan tombol “ya”
maka mereka akan mendapatkan sejumlah komisi. Jika “tidak” maka mereka
tidak akan mendapatkan apa-apa.
"Ini mirip dengan situasi tawaran suap dan menerimanya," kata Li Shu, seperti dilansir South China Morning Post.
Kinerja otak ketika seseorang korupsi
Para peneliti selanjutnya menemukan
bahwa tawaran uang tunai, berapa pun jumlahnya, akan merangsang area
otak yang "merasa baik". Area tersebut adalah korteks prefrontal lateral
kanan di bagian depan otak dan korteks insular di bagian samping kedua
belahan otak.
Di samping itu, para peneliti juga
menemukan bahwa area girus frontal kiri para relawan studi menjadi lebih
aktif daripada di wilayah otak lainnya ketika mereka memutuskan untuk
menerima uang sebagai bentuk suap. Semakin tinggi jumlah uang, semakin
banyak aktivitas yang terlihat di girus kiri.
Secara keseluruhan, penelitian tersebut
menyimpulkan bahwa orang-orang dengan girus yang lebih aktif memiliki
kecenderungan kuat untuk mengorbankan keadilan demi uang. Dengan kata
lain, mereka lebih mudah "disuap".
"Hasilnya dapat memberi cahaya baru pada pertanyaan mengapa dan bagaimana korupsi terjadi," kata Li Shu.
Meski hasilnya terlihat nyata,
penelitian ini masih membutuhkan pendalaman yang lebih detail agar
hasilnya semakin akurat. Tapi, benar kata Profesor Li Shu, paling tidak
penelitian ini menggambarkan sedikit kinerja otak ketika seseorang
berlaku korupsi.
Bagaimanapun juga, korupsi, suap, dan
hal-hal melanggar norma sosial lainnya adalah perkara yang tidak bisa
dibiarkan. Meski belum pasti berhubungan dengan gangguan otakatau tidak, korupsi adalah tindakan kotor dan sangat tercela yang harus mendapatkan hukuman keras.
Sumber : www.klikdokter.com