Abraham: Turuti Permintaan Wiranto Bisa Lemahkan KPK
![]() |
Foto Ist |
JAMBITERBIT.COM, JAKARTA - Mantan
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abraham Samad menilai sudah
tepat KPK menolak permintaan Menkopolhukam Wiranto untuk menunda
pengumuman calon kepala daerah sebagai tersangka korupsi.
Abraham melalui keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu (14/3/2018)
menyatakan jika meluluskan permintaan lembaga negara lain maka KPK bisa
diartikan memperlambat dan melemahkan upaya pemberantasan korupsi itu
sendiri.
"Jabatan yang melakat pada Pak Wiranto adalah Menkoplhukam. Jadi,
permintaan terhadap KPK agar menunda pengumuman tersangka kepala daerah
yang terlibat korupsi itu sudah merupakan bentuk intervensi terhadap KPK
yang merupakan lembaga independen. Jangankan Kementerian, Presiden pun
tidak bisa mengintervensi KPK," kata Abraham.
Abraham mengingatkan dalam sistem tata negara, KPK ditempatkan sebagai
lembaga independen yang berfungsi sebagai lembaga penegakan hukum dalam
hal pemberantasan korupsi, termasuk korupsi di sejumlah daerah yang
melibatkan calon kepala daerah petahana atau yang bukan petahana.
Namun, ia dapat memahami bahwa apa yang disampaikan Menkopolhukam
secara substantif bermuatan positif, yakni dalam penyelanggaraan Pilkada
di 171 daerah agar tidak menimbulkan kegaduhan.
"Pengumuman calon kepala daerah yang akan ikut pilkada diduga dapat
mempengaruhi tahapan pilkada serentak dan pilihan rakyat terhadap calon
kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka," ucap Samad.
Namun demikian, Abraham pun mengingatkan kembali jika KPK meluluskan
permintaan Wiranto untuk menunda pengumuman tersangka maka dampak yang
ditimbulkan atas penundaan itu tidak lah kecil dan bahkan semakin buruk.
Abraham mencontohkan apabila seorang kepala daerah yang semula sudah
dilakukan pengusutan terhadap kasus korupsi tetapi kemudian ditunda
karena adanya permintaan maka persoalan akan kembali muncul.
"Setelah selesainya pilkada dan dilantik menjadi Kepala daerah,
persoalan akan kembali muncul.Selain merugikan biaya, waktu, dan tenaga
untuk menyelenggarakan pilkada juga merugikan rakyat pemilih yang tidak
percaya lagi pemimpinnya sendiri karena mereka merasa dipimpin oleh
kepala daerah yang korup," tuturnya.
Namun dalam konteks hukum dan ketatanegaraan, kata Abraham, permintaan
Wiranto tetap lah dapat dikategorikan intervensi terhadap tugas dan
fungsi KPK sebagai lembaga independen yang bertugas melakukan penegakan
hukum terhadap kasus-kasus korupsi.
"Jadi KPK tidak perlu menanggapi permintaan Pak Wiranto itu, syukur kalau malah menolaknya secara tegas," ungkap Abraham.
Menurut dia, tugas dan kewenangan KPK adalah mengusut tindakan korupsi yang dilakukan siapa saja dan menindak kapan saja.
Selain itu, kerja KPK tidak boleh batasi ruang dan waktu, bahkan tidak
boleh dihentikan karena adanya intervensi dari pihak manapun, bahkan
dari Presiden sekalipun.
Ia pun mengemukakan data dan fakta dari Pusat Pelaporan dan Analisis
Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai adanya aliran dana mencurigakan yang
diduga digunakan terkait Pilkada Serentak 2018, di mana PPATK mencatat
53 transaksi elektronik dan 1.066 transaksi tunai puluhan miliaran
rupiah.
Sedang perihal aliran dana yang terkait peserta Pilkada tercatat 368
transaksi mencurigakan dan yang sudah ada hasil analisanya sebanyak 34
laporan.
Bahayanya jika KPK tunduk pada intervensi sebagaimana yang dilakukan
Wiranto, lanjut Abraham, kasus-kasus yang melibatkan calon kepala daerah
yang melakukan tindak pidana korupsi bisa berjalan di tempat, bahkan
alat-alat bukti terhadap kasus tersebut bisa hilang atau sengaaja
dihilangkan untuk menghapus jejak.
Jika tunduk kepada keinginan Pak Wiranto itu, kata dia, KPK bisa
ditafsirkan sebagai memberi toleransi terhadap kejahatan korupsi oleh
KPK itu sendiri atau paling tidak dikategorikan sebagai upaya pembiaran
terhadap terjadinya kejahatan korupsi.
"Jadi teman-teman komisioner KPK harus tetap menjaga marwah dan
kredibilitas KPK sebagai lembaga independen penegakan hukum dalam
pemberantasan korupsi. Jangan terpengaruh intervensi lembaga negara
lain," tuturnya.
Sebelumnya, pada Senin (12/3/2018), Menteri Koordinator Bidang Politik,
Hukum dan Keamanan Wiranto meminta KPK untuk menunda pengumuman calon
kepala daerah dalam Pilkada 2018 yang menjadi saksi maupun tersangka
kasus korupsi.
Tujuannya agar tahapan pilkada serentak serta pencalonan kandidat tidak
terganggu dengan adanya proses hukum yang harus dipenuhi calon kepala
daerah.
Penulis : safari
Sumber : harianterbit