Dramatisasi Peristiwa Ditengah Serangan Siber Hoax

Foto Istimewa
Oleh : Rizal Ependi

Pers harus skeptis tidak mudah percaya harus cek and ricek ujar Junjati Patra, Jurnalis salah satu televisi swasta terkemuka di Indonesia, ketika dia mengomentari maraknya koreksi dari para wartawan terhadap pemberitaan beberapa media online akhir-akhir ini.

Komentar pedas menampar siapa saja baik sengaja atau pun tidak yang sering menulis berita hoax tersebut, dilangsirnya pada sebuah wall face book tertanggal 1 Januari 2018 yang lalu. Bukan tanpa alasan, mungkin niatnya memberikan pencerahan kepada para wartawan "anyar" yang baru belajar menekan tombol keyboard komputer jinjingnya saban petang.

Pernyataan kontra dari account media sosial face book bertulis saman jektv yang menyatakan tak percaya dengan informasi yang dilansir di media sosial dua hari belakangan, mungkin inilah yang memicu mantan Wartawan Tabloid Detail Jambi tersebut menulis singkat dan tajam bahwa pers harus skeptis tak mudah percaya dan harus cek dan ricek.

Sejak tiga tahun terakhir memang sangat terasa pertumbuhan media online khususnya di Provinsi Jambi. Sejumlah nama dan warna tulisan menyeruak dari sebuah situs sosial sehingga nyaris tak dapat dibedakan satu sama lain, mana berita dan mana informasi mentah yang masih perlu diolah.

Berbagai persepsi muncul bahkan sebagian pihak menyimpulkan bahwa Pers Indonesia sedang diuji. Diuji dengan bermuncul-nya para aktor partisan yang menamakan dirinya jurnalis siber class.

Mengintif  slogan pada salah satu media online tertentu yang mengatakan semua orang adalah pewarta. Satu sisi boleh - boleh saja, disisi lain agak kurang sependapat. Karena tak semua orang bisa menulis berita yang masuk dalam katagori sebuah karya jurnalistik.

Bertutur biasanya adalah ciri khas sebuah karya jurnalistik. Terdiri dari beberapa item yang "mutlak" harus ada, diantaranya : sudut pandang (angle) tentu saja dari sisi mana berita tersebut akan mulai kita tulis.  Atau dari sisi mana pewarta melihat sebuah peristiwa dan menuangkannya dalam bentuk tulisan.

Kemudian Judul, tentu saja harus menarik dan mencerminkan isi berita. Biasanya judul ini hanya memuat maksimal atau idealnya 7 kata.

Setelah itu, lead atau lade atau sering disebut paragraf pembuka yang menceritakan sebagian isi berita. Fungsi lead ini tentu saja agar pembaca tertarik membaca berita sampai habis dan memperlancar alur cerita.

Lead ini juga sering dikatakan sebagai teras untuk memancing minat baca, tentunya bagi pembaca berita.

Trus, isi berita atau cerita peristiwa yang merupakan infomasi yang telah terjadi. Biasanya isi berita ini akan dimuat selengkap dan sepadat mungkin tapi bukan sepanjang mungkin.

Sebab kalau untuk berita Televisi atau Radio biasanya isi berita ini sering disebut dengan sari berita. (maaf kalau kiranya ada kekeliruan)

Terakhir adalah penutup berita yang biasanya berisi sebuah kesimpulan dari sebuah peristiwa yang ditulis.

Diharuskan dan telah menjadi acuan dalam menulis berita tidak boleh terlepas dari : what, who, when, where, why and how (apa, siapa, kapan, dimana, mengapa dan bagaimana) 5W+H + kerucut atau piramida terbalik dan etika jurnalis atau KEJ serta berimbang dan selaras dengan UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers.

Menurut hemat saya, dalam menulis sebuah berita, pewarta tak perlu menulis sebuah peristiwa dengan digambarkan secara berlebihan (dramatisasi) tanpa sensor, terutama untuk berita tentang peristiwa kerusuhan, kecelakaan, kematian dan asusila serta kejahatan seksual lainnya.

Karena mendramatisasi secara berlebihan mungkin dapat menghilangkan label tulisan sebagai sebuah karya jurnalistik. Serta mengaburkan fungsi utama sebuah pemberitaan yakni menyebarkan infomasi untuk kepentingan publik semata.

Memakai bahasa yang santun dan bertutur akan lebih indah, atau sedikit mengajak pembaca seakan masuk ke dalam kejadian pada peristiwa yang sedang diceritakan dengan memakai tehnik menulis jurnalisme sastrawi, do not stupid jurnalism. (***)
Diberdayakan oleh Blogger.