KPK: Mahar Politik Dorong Kepala Daerah Korupsi

Ketua KPK Agus Rahardjo. Foto Ist

JAMBITERBIT.COM,  JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengkhawatirkan adanya mahar politik jelang Pilkada Serentak 2018 yang saat ini mulai terungkap. Adanya mahar politik tidak hanya menciderai proses demokrasi tapi juga membuat para kepala daerah untuk melakukan tidak korupsi.

Karena kepala daerah tersebut harus mengumpulkan uang yang telah dikeluarkannya saat maju sebagai calon. "Mahar politik itu juga akan berdampak buruk bagi pemberantasan korupsi ke depannya. Karena jika untuk menjadi kepala daerah butuh ongkos mahal maka ketika terpilih kepala daerah itu berpotensi melakukan korupsi," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah yang dikonfirmasi, Senin (15/1/2018).

Febri berpesan, di tahun politik imaka prosesnya dapat dilangsungkan dengan benar. Sebab kepala daerah yang tersandung kasus korupsi, bisa dijerat dengan Pasal 11 UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tipikor. Ancaman hukuman bagi pelaku korupsi yaitu dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000. dan paling banyak Rp 1.000.000.000.

"Sepanjang KPK berdiri sudah ada 78 kepala daerah yang diproses hukum, dari 92 kasus korupsi. Karenanya kami berharap pilkada mendatang dijalankan dengan benar tentu akan lebih meminimalisir terjadinya korupsi nantinya," jelasnya.

Tetap OTT Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo menyatakan pihaknya tidak akan berhenti melakukan operasi tangkap tangan (OTT) meskipun saat penyelenggaraan Pilkada 2018. OTT akan tetap dilaksanakan dengan berbagai bukti yang ada. "Masih kalau ada OTT, tidak dibuat-buat ya, dengan fakta, data dan bukti yang konkret pasti masih dilakukan," jelasnya.

Menurut Agus, KPK akan menindak tegas adanya mahar politik di Pilkada Serentak 2018 mendatang. Karena KPK mempunyai kewenangan jika mahar politik yang diberikan dari seorang pejabat penyelenggara negara. Kendati begitu, Agus menyatakan, terdapat beberapa kasus hukum yang dapat ditunda selama pilkada berlangsung, yakni seperti calon kepala daerah tersebut berstatus saksi.

Untuk melengkapi berkas yang ada, dapat dilakukan usai pilkada. "Supaya adil, supaya lebih fair kita tidak abuse of power, kita tidak diskriminasi. Tapi kalau saksi, potensi sudah kita menemukan fakta akan menjadi tersangka mungkin tidak akan berhenti," paparnya.

Penulis : Safari
Sumber : harianterbit.com
Diberdayakan oleh Blogger.