Genderuwo' Ekonomi Rakus Harta, ‘Doyan’ Hisap Darah Rakyat
![]() |
ilustrasi |
Yang hobby mengumpulkan pundi-pundi dolar, mahluk yang susah untuk di taklukkan, itulah genderuwo ekonomi," ujarnya.
Andi menilai, pihak yang masuk kategori genderuwo ekonomi adalah kelompok yang tergabung dalam mafia dagang, mafia proyek, mafia pangan yang merugikan rakyat. Negara ini mempunyai banyak perangkat untuk membasmi para genderuwo itu semua asalkan hukum benar-benar ditegakkan tanpa pandang bulu.
Oleh karenanya pakai kekuatan hukum untuk membasmi mahluk menyeramkan tersebut. "Karena hukum adalah penguasa, maka semakin memudahkan untuk membasmi genderuwo ekonomi. Yang masalah ketika hukum juga menjadi bagian dari genderuwo itu sendiri," jelasnya.
Genderuwo Hukum Anggota Badan Pemenangan Nasional (BPN) Pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, Sudirman Said meminta semua jajaran tim sukses, termasuk para sukarelawan untuk mewaspadai "genderuwo" hukum menjelang Pilpres 2019.
"Genderuwo' ini segala sesuatu yang tidak nampak, tapi dirasakan menakutkan, jadi itu bisa berasal dari mana saja. Kemarin Pak Sandi bicara genderuwo ekonomi, tapi jangan lupa ada genderuwo hukum juga, orang-orang yang harusnya netral (pada pilpres) kemudian menggunakan kewenangannya untuk menekan," kata Sudirman di Semarang, Jawa Tengah, Minggu.
Menurut dia, "genderuwo" hukum bisa datang dari berbagai kalangan, utamanya aparat keamanan, penegak hukum dan aparat intelijen. Sementara itu, pengamat hukum dari Universitas Nasional (Unas) Dr Ismail Rumadan mengatakan, dalam ilmu hukum selama belam ada istilah genderuwo hukum.
Jika hukum tidak menjadi panglima dan hanya berpihak kepada orang yang berkuasa atau memiliki uang maka biasanya disebut hukum yang tidak tampak atau hukum yang tersembunyi. Hukum yang tidak tampak terjadi karena ada kekuatan lain dibalik suatu tindakan penegakan hukum atau hukum digunakan untuk kepentingan kelompok tertentu.
"Jika hal yang demikian terjadi maka tentu sangat berbahaya. Sebab hukum yang harusnya jadi panglima tapi terbalik kekuasaan yang dijadikan panglima," ujar Ismail kepada Harian Terbit, Senin (12/11/2018).
Ismail menuturkan, jika kekuasaan yang menjadi panglima maka dapat dipastikan akan adanya tindakan-tindakan yang diskriminatif. Jika hukum berpihak kepada penguasa maka penguasa bisa berbuat zolim terhadap rakyatnya.
Sekjen Majelis Sinergi Kalam Ikatan Cendikiawan Muslim Se-Indonesia (MASIKA ICMI) ini menyarankan, agar hukum tidak diskriminasi maka tindakan pemerintah ataupun penguasa dalam hal apapun harusnya menempatkan hukum sebagai panglima. Artinya segala tindakan pemerintah harus berdasarkan hukum.(Harian Terbit/Safari)