Pendapat Pribadi VS Pendapatan Negara

Oleh: Jamhuri 

Merujuk pada baik sebagian maupun secara keseluruhan kalimat yang tercantum pada konsiderant Undang - Undang Nomor 20 tahun 1997 tentang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) khususnya pada huruf (b) Dictum Menimbang dengan amanat :”bahwa penyelenggaraan dan pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang tertuang dalam peraturan dan ketentuan pelaksanaan yang berlaku selama ini belum sepenuhnya mencerminkan kepastian hukum dan ketertiban administrasi keuangan Negara. 

Pada Batang Tubuh Undang - Undang itu sendiri memuat ketentuan tentang sanksi Pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 9 ayat (2), dimana ketentuan ancaman Pidananya sebagaimana yang diatur dengan ketentuan Pasal 21 ayat (1) huruf (d) berupa kurungan penjara paling lama 6 (Enam) tahun dan denda paling banyak 4 (Empat) kali lipat dari total jumlah PNBP yang terhutang.

Terhutang berasal atau memiliki kata dasar yaitu Hutang. Terminologinya pertama kali digunakan pada abad ke 13 (Tiga Belas). Dimana terdapat berbagai pengertian tentang hutang yang diberikan oleh beberapa ahli dengan salah satunya sebagaimana yang terdapat pada buku Chariri dan Ghozali (2005 : 157), “hutang adalah pengorbanan manfaat ekonomi yang mungkin terjadi di masa yang mendatang yang mungkin timbul dari kewajiban sekarang dari suatu entitas untuk menyerahkan aktiva atau memberikan ke entitas lain di masa mendatang sebagai akibat transaksi di masa lalu”.

Dalam konteks pengertian Hutang itu sendiri sehubungan dengan PNBP terdapat beberapa pihak atau entitas yaitu Negara secara tidak langsung sebagai Kreditur dan pihak wajib PNBP itu sendiri selaku Debitur. Berarti transaksi yang dilakukan tercatat dalam suatu clausul yang secara syah menurut hukum yang berlaku dan memiliki sipat mengikat bagi para pihak yang bertransaksi. satu dengan yang lainnya.  

Sehubungan dengan HGU yang terindikasi bermasalah alias bodong yang didapat dari hasil perbuatan melawan hukum tentunya akan memunculkan  pertanyaan bagaimana kata - kata hutang sebagaimana pengertian diatas akan dilekatkan pada hasil sesuatu perbuatan melawan hukum atau suatu kejahatan?

Dua jenis perbuatan yang berbeda ranah hutang piutang perbuatan hukum perdata sementara HGU illegal masuk pada ranah Pidana, dimana adanya perbutan menguasai dan mengelola Sumber Daya Alam yang dikuasai oleh negara dengan tanpa hak yang diberikan oleh negara. Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan disadari diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku guna mewujudnyatakan tujuan campur tangan pemerintah dalam mencapai tujuan negara memajukan kesejahteraan umum. 

Dimana untuk pelaksanaan ketentuan atau sebagai turunan daripada Undang-Undang Nomor 20 tahun 1997 dimaksud ditetapkan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 13 tahun 2010 tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Badan Pertanahan Nasional sebagaimana yang telah diubah dengan PP Nomor 128 tahun 2015 tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementrian Agraria Dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

Berdasarkan rumusan Pasal 1 Peraturan Pemerintah (PP) yang dimaksud setidak-tidaknya terdapat 6 (Enam) jenis pelayanan yang wajib diberikan oleh pelaksana peraturan tersebut antara lain yaitu : pertama Pelayanan Survei, Pengukuran, dan Pemetaan, kedua yaitu Pelayanan Pemeriksaan Tanah, ketiga Pelayanan Konsolidasi Tanah Secara Swadaya, ke empat berupa Pelayanan Pertimbangan Teknis Pertanahan, dan kelima yaitu Pelayanan Pendaftaran Tanah serta ke enam Pelayanan Informasi Pertanahan. 

Contohnya dalam penerapan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2013 yang dimaksud, antara lain ketentuan Pasal 4 ayat (1) tentang  jumlah tarif yang akan dibayar atas pelayanan pengukuran dan pemetaan tanah yang dilakukan dengan perhitungan nilai berdasarkan luasan tanah yang akan diberikan HGU yaitu untuk tanah dengan Luas sampai dengan 10 hektar dengan rumus sebagaimana ayat 1 huruf (a) dimana : Tarif Pelayanan (Tu) sama dengan Luas (L) berbanding 500 (Lima Ratus) x Harga Satuan Biaya Khusus (HSBKu) + Rp100.000,00.

Untuk luasan lahan atau tanah dari 10 hektar sampai dengan 1.000 (Seribu) hektar dengan rumus sebagaimana ayat 1 huruf (b) dimana: Tarif Pelayanan (Tu) sama dengan Luas (L) berbanding 4000 (Empat Ribu) x Harga Satuan Biaya Khusus (HSBKu) + Rp14.000.000,00. Sementara untuk lahan atau tanah lebih dari 1.000 hektar dengan rumus sebagaimana ayat 1 huruf (c) PP yang dimaksud yaitu : Tarif Pelayanan (Tu) sama dengan Luas (L) berbanding 10.000 (Sepuluh Ribu) x Harga Satuan Biaya Khusus (HSBKu) + Rp134.000.000,00.

Seandainya HGU yang diluar perizinan yang diterima oleh oknum badan hukum ataupun Investor pada satu kawasan sebesar 2.000 (Dua Ribu) Hektar tentunya akan perhitungan nominalnya berdasarkan rumusan sebagaimana amanat Pasal 4 ayat (1) huruf (c) PP Nomor 10 tahun 2013, dan anggap saja untuk Harga Satuan Biaya Khusus (HSBKu) ditetapkan sebagaimana contoh pada penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 2013 tersebut pada tahun 2010 yaitu sebesar Rp. 80.000,00 (Delapan Puluh Ribu Rupiah).

Dengan perkiraan pada tahun 2022 nilai HSBKu berubah menjadi Rp. 150.000,00 (Seratus Lima Puluh Ribu Rupiah) tentunya akan didapat Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan perhitungan : (20.000.000/10.000 x Rp. 150.000,00) + Rp. 134.000.000,00 = Rp. 300.000.000 + Rp. 134.000.000,00  maka akan menghasilkan Pendapatan Negara Bukan Pajak  sebesar Rp 434.000.000,00 (Empat Ratus Tiga Puluh Empat Juta Rupiah) untuk satu hamparan HGU illegal dimaksud.

Lebih lanjut Peraturan Pemerintah yang dimaksud mengatur tentang tarif atas pelayanan  pemeriksaan tanah oleh Panitia A (Ajudikasi) sebagaimana penjelasan Pasal 8 yaitu “Tpb” adalah Tarif Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia B. ”L” adalah Luas tanah yang dimohon dalam satuan luas meter persegi (m2). 

“HSBKpb” adalah Harga Satuan Biaya Khusus kegiatan Pemeriksaan Tanah oleh Panitia B untuk tahun berkenaan, untuk komponen belanja bahan dan honor yang terkait dengan keluaran (output) kegiatan sidang panitia pemeriksaan tanah, penerbitan Keputusan hak, dan penerbitan sertifikat. dengan rumusan rumus sebagaimana ayat 1 dimana : Tarif Pelayanan (Tpb) sama dengan Luas (L) dibagi 100.000 (Seratus Ribu) x Harga Satuan Biaya Khusus Panitia B (HSBKpb) + Rp 5.000.000,00. Dengan perkiraan nilai HSBKpb yang diberlakukan untuk tahun 2022 sebesar Rp. 125.000,00. (Seratus Dua Puluh Lima Ribu Rupiah). 

Untuk luasan lahan atau tanah HGU yang diperkirakan illegal sebagaimana diatas yaitu dengan luasan 2000 (Dua Ribu) Hektar atau 20.000.000 M2 (Dua Puluh Juta Meter Persegi) maka akan didapat perkiraan Pendapatan Negara Bukan Pajak dengan perhitungan sebagai berikut : (20.000.000/100.000 x Rp. 125.000,00) + Rp. 5.000.000,00 = Rp. 25.000.000,00  + Rp. 5.000.000,00  maka akan menghasilkan PNBP sebesar Rp. 30.000.000,00 (Tiga Puluh Juta Rupiah) yang tidak dapat tertagih untuk luas lahan HGU illegal dimaksud.

Selain daripada tarif pelayanan sebagaimana diatas masih terdapat ketentuan lain menyangkut pelayanan yang diberikan oleh pihak Badan Pertanahan yaitu berupa tarif atas pelayanan pemeriksaan tanah oleh team peneliti tanah sebagaimana yang diatur dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) dengan amanat Tarif Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Tim Peneliti Tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, dihitung berdasarkan rumus: Tpp = (Luas berbanding 500 x HSBKpp) + Rp 350.000,00.

Dengan Penjelasan Yang dimaksud dengan: “Tpp” adalah Tarif Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Tim Peneliti Tanah. “L” adalah Luas tanah yang dimohon dalam satuan luas meter persegi (m2). “HSBKpp” adalah Harga Satuan Biaya Khusus kegiatan Pemeriksaan Tanah oleh Tim Peneliti Tanah untuk tahun berkenaan, untuk komponen belanja bahan dan honor yang terkait dengan keluaran (output) kegiatan sidang panitia pemeriksaan tanah, penerbitan Keputusan hak, dan penerbitan sertifikat.

Contoh:

HSBKpp untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp67.000,00, sementara untuk tahun 2022 dengan perkiraan tarif dimaksud berubah menjadi Rp. 125.000,00 (Seratus Ribu Rupiah) maka

penghitungan tarif Pelayanan Pemeriksaan Tanah oleh Tim Peneliti Tanah atas HGU seluas 2000 Hektar yang dimaksud : Tpp = (Luas berbanding 500 x HSBKpp) + Rp350.000,00.

Tpp = (20.000.000/500 x Rp. 125.000,00) + Rp350.000,00 = Rp 5.000.000.000,00 + Rp350.000,00 = Rp. 5.350.000.000,00 (Lima Miliar Tiga Ratus Lima Puluh Juta Rupiah).

Selain membahas tentang HGU Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi juga harus mampu mengungkap fakta menyangkut tentang Izin Lokasi yang berdasar kepada ketentuan Pasal 13 dan Pasal 14 ayat (1) PP Nomor 13 tahun 2010 dikenakan kewajiban membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dengan rumusan : Tptil = (Luas/100.000 x HSBKpb) + Rp 5.000.000,00.

Dengan penjelasan Yang dimaksud dengan: “Tptil” adalah Tarif Pelayanan Pertimbangan Teknis Pertanahan dalam rangka Izin Lokasi. “L” adalah Luas tanah yang dimohon dalam satuan luas meter persegi (m2). “HSBKpb” adalah Harga Satuan Biaya Khusus kegiatan

pemeriksaan Tanah oleh Panitia B untuk tahun berkenaan, untuk komponen belanja bahan dan honor yang terkait dengan keluaran (output) kegiatan sidang panitia pemeriksaan tanah,

Penerbitan Keputusan hak, dan penerbitan sertifikat.

Contoh:

HSBKpb untuk tahun 2010 adalah sebesar Rp 67.000,00, pada tahun 2022 berubah menjadi Rp. 125.000,00 (Serratus Dua Puluh Lima Ribu Rupiah) maka penghitungan Tarif Pelayanan Pertimbangan Teknis dalam rangka Izin Lokasi. 

Untuk lahan dengan luas tanah 2000 (Dua Ribu) Hektar atau 20.000.000 M2 (Dua Puluh Juta Meter persegi) maka PNBP nya adalah Tptil = (20.000.000/100.000 x Rp 125.000,00) + Rp 5.000.000,00 = Rp 25.000.000,00 + Rp5.000.000,00 = Rp 30.000.000,00 (Tiga Puluh Juta Rupiah).

Dari ke tiga jenis pelayanan untuk permohonan HGU sebagaimana diatas maka akan didapat total Pendapatan Negara Bukan Pajak dengan asumsi sebesar Rp. 5.814.000.000,00 (Lima Miliar Delapan Ratus Empat Belas Juta Rupiah). Asumsi tersebut ditambah dengan PNBP terhadap Izin Lokasi sebagaimana diatas maka akan didapat akumulasi pemasukan bagi Keuangan Negara sebesar Rp 5.5844.000.000,00 (Lima Miliar Lima Ratus Delapan Puluh Empat Juta Rupiah. Ini hanya ilustrasi untuk perkiraan HGU Bodong dengan luasan 2000 Hektar bagaimana setelah dilakukan iventarisir semua HGU yang ada dan dengan menggunakan Harga Satuan Biaya Khusus (HSBK) yang memiliki kepastian hukum.

Maka patut diyakini dari situ akan terbukti secara nyata adanya keberadaan HGU illegal yang dimaksud, bukankah tidak menutup kemungkinan angka nominal PNBP diatas  hanyalah sebagian kecil dari pendapatan negara yang tidak dapat diterima,mungkin bisa saja mencapai angka trilinan rupiah.

Perkiraan ini hanya sebatas gambaran dari sesuatu keadaan dengan perkiraan  berdasarkan atas terjadinya peristiwa konflik lahan yang terkesan tidak akan pernah memberikan penyelesaikan masalah ataupun memberikan jalan keluar (Solusi) apalagi memberikan kepastian hukum dengan efek jera. 

Hasil obyektive akan didapat jika Panitia Khusus DPRD Provinsi Jambi tidak menjadi banper atas kinerja daripada Satgas Pemberantasan Mafia Pertanahan, secara normatif  Pansus jangan sampai melahirkan upaya penggunaan dalil bahwa suatu perkara tidak dapat dilakukan proses hukum lebih dari satu kali, apalagi sekedar upaya pendekatan persuasif untuk memperluas pergaulan dan jaringan persahabatan serta persaudaraan. 

Disamping kedua persoalan diatas dengan segala macam dugaan permasalahannya khususnya PNBP persoalan lainnya adalah menyangkut Izin Prinsif serta Izin Usaha Perkebunan (IUP) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dimana terdapat sejumlah ketentuan menyangkut Izin Usaha Perkebunan (IUP), antara lain: Peraturan Menteri Pertanian Nomor 21/Permentan/Kb.410/6/2017 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98/Permentan /Ot.140/9/2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, Peraturan Menteri Pertanian Nomor 98 Tahun 2013 Tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan,  Peraturan Menteri Pertanian nomor 05 Tahun 2019 Tentang Tata Cara Perizinan Berusaha Sektor Pertanian. 

Serta Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi harus mampu mengungkap fakta sedetail mungkin tentang  pemberian Hak Guna Usaha (HGU) yaitu sejauh mana proses pemberian  HGU yang dimaksud sesuai dengan ketentuan Pasal 59 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 tahun 2017.

Menyangkut tentang hak dan kewenangan pemberian HGU, sejauh mana Izin Lokasi telah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Berakhir atau bertambahnya akumulasi perkara Konflik Lahan tergantung pada Kwalitas dan arah Rekomendasi diberikan. Pansus Konflik lahan wajib mengungkap benarkah akumulasi PNBP HGU sudah sesuai dengan mekanisme yang berlaku.

Dimana menurut data yang dilansir oleh Walhi pada tahun 2019 yang  lalu di Provinsi Jambi tercatat hamparan Kelapa Sawit dengan tutupan seluas 792.145,79 Hektar. Apakah akumulasi HGU yang diberikan sesuai dengan hamparan tutupan Sawit yang ada di lapangan? Jadi tidak hanya sebatas mencari solusi konflik lahan, dengan rekomendasi salah alamat.

Serta mengungkap bagaimana dengan hasil dari Perubahan Izin Prinsip menjadi Pendaftaran Penanaman Modal sebagaimana ketentuan Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) No. 13 Tahun 2017 tentang Pedoman Dan Tata Cara Perizinan Dan Fasilitas Penanaman Modal dapat merubah warna iklim investasi yang akan meminimalisir angka perkara  konflik lahan.  Jadi Pansus tidak hanya sekedar hanya sebatas Pembicaraan Sekedar Untuk Setuju.

Pansus Konflik Lahan DPRD Provinsi Jambi harus lakukan penelitian Historik, Eksploratif, Deskriptif, dan Eloplanasi, sehingga pungsi sosial tanah sebagaimana konsep Landreform benar - benar dapat diwujudkan secara nyata dengan memiliki kepastian  dan perlindungan hukum dengan menyerahkan hasil penelitiannya kepada Aparat Penegak Hukum serta PNBP benar - benar sesuai dengan pengertian sebenarnya dan tidak mengalami pergeseran menjadi Pendapatan Negara Buat Pribadi. (Penulis : – Direktur Eksekutif LSM Sembilan)

Diberdayakan oleh Blogger.