Kenapa Pemerintah Bernafsu Sekali Ingin Menaikkan Harga BBM

 
Oleh: Tarli Nugroho

Pemerintah sepertinya bernafsu sekali ingin menaikkan harga BBM tahun ini. Berbagai narasi disorongkan, mulai dari subsidi BBM yang bikin jebol APBN, karena nilainya disebut mencapai 502,4 triliun; hingga dalih kenaikkan harga minyak mentah. Sayangnya, berbagai dalih tersebut tidaklah akurat.

Pertama, subsidi BBM di dalam APBN-P 2022 sebenarnya "hanya" sebesar Rp149,4 triliun, dari total subsidi energi sebesar Rp208,9 triliun.

Baca Juga: Menko Airlangga Sampaikan Persetujuan RCEP dan Penguatan Kerja Sama Ekonomi

Kedua, jika kita merujuk pada data realisasi penggunaan anggaran, per semester 1-2022 kemarin, realisasi penggunaan anggaran subsidi energi secara keseluruhan sebenarnya baru mencapai 36,2 persen, yang terdiri dari realisasi penggunaan subsidi BBM sebesar 36,4 persen, dan realisasi penggunaan subsidi listrik sebesar 35,7 persen. Jadi, dari sisi anggaran, tidak ada urgensinya menaikkan harga BBM, karena anggaran subsidi yang telah ditetapkan bisa mencukupi hingga akhir tahun.

Ketiga, dari sisi kuota BBM bersubsidi, situasinya juga jauh dari genting. Merujuk pada data yang disodorkan Pertamina, jumlah Pertalite yang telah disalurkan per Juli 2022 baru 16,8 juta kilo liter, atau 56,6 persen dari total kuota 29,7 juta kilo liter yang ditetapkan dalam APBN-P. Sementara itu, jumlah solar bersubsidi yang telah disalurkan juga tak berbeda jauh jumlahnya, yaitu baru 56,8 persen (lihat grafik).

Dan keempat, dari angka Rp502,4 triliun yang kemarin digoreng oleh Presiden dan Menteri Keuangan, lonjakan terbesar sebenarnya terjadi pada pos dana kompensasi energi. Merujuk pada Permenkeu No. 16/PMK.02/2021, dana kompensasi adalah dana yang dibayarkan Pemerintah kepada BUMN (dalam hal ini Pertamina dan PLN) atas kekurangan penerimaan BUMN akibat selisih antara harga jual eceran jenis bahan bakar penugasan (Pertalite, solar, dan LPG 3 kg) yang ditetapkan Pemerintah dengan harga pasar.

Lonjakan dana kompensasi energi ini, jika kita periksa sangatlah tidak proporsional, karena melonjak sebesar 1.168 persen (hampir 13 kali lipat) dari anggaran awal APBN 2022. Sebagai catatan, kenaikan harga ICP (Indonesian Crude Price) hanya mencapai 58,7 persen, begitu juga kenaikan anggaran subsidi energi, angkanya proporsional, karena hanya naik 56 persen. Di sisi lain, kenaikan jumlah kuota Pertalite dan solar juga tidaklah drastis, karena masing-masing hanya naik 26 dan 15 persen (lihat grafik).

Jadi, bagaimana bisa dana kompensasi energi untuk Pertamina dan PLN meroket hingga 1.168 persen, padahal kenaikan harga minyak mentah dunia saja level tertingginya (US$107,1, April 2022) tidak pernah melebihi angka 70 persen dari asumsi yang dipatok APBN 2022 (US$63)?

Dengan keganjilan tersebut, juga catatan-catatan sebelumnya, cukup jelas tidak ada urgensinya menaikkan harga BBM, apalagi pada saat belanja rumah tangga di Indonesia mulai pulih sejak dihantam pandemi. Kenaikan harga BBM hanya akan menekan kembali proses recovery ekonomi yang tengah berlangsung.

Pertanyaannya kemudian, kenapa pemerintah terlihat bernafsu sekali ingin menaikkan harga BBM tahun ini?

Saya menduga, ini ada kaitannya dengan defisit APBN 2023 yang harus kembali normal ke angka maksimal 3 persen PDB, sesuai ketentuan UU Keuangan Negara. Kita tahu, saat awal pandemi Covid-19 kemarin, pemerintah telah mengeluarkan Perppu No. 1/2020 yang memperbolehkan pelonggaran defisit melampaui angka 3 persen PDB hingga tahun 2022 ini. Sebagai catatan, target defisit APBN tahun ini adalah 4,5 persen.

Jadi, karena ini adalah tahun terakhir pelonggaran defisit yang diizinkan, pemerintah harus mencari jalan bagaimana mencari sumber-sumber penerimaan baru yang signifikan untuk tahun 2023. Sayangnya, alih-alih memangkas belanja pemerintah yang tidak produktif, seperti pembangunan IKN, atau proyek strategis nasional yang tidak urgen, pemerintah sepertinya lebih suka hendak membebankan semua itu ke pundak rakyat.

Editor: Anugrah Terbit

sumber : harianterbit.com

Diberdayakan oleh Blogger.