Penggunaan Dana Covid-19 Patut Dipertanyakan

 JAKARTA -  Sejumlah pihak mendesak dana stimulus penanggulangan pandemi Covid-19 di audit secara transparan. Audit menyangkut untuk apa saja anggaran itu digunakan, rumah sakit mana yang menerima dana tersebut dan apakah benar dana itu digunakan untuk warga terpapar corona.

Pemerhati kesehatan, Iskandar Sitorus mengatakan, dana stimulus penanggulangan pandemi Covid-19 layak juga untuk dipertanyakan mengingat jumlahnya juga sangat besar yakni mencapai Rp 677,2 triliun dari sebelumnya Rp 405,1 triliun.Apalagi jika ada yang mengatakan dana penanggulangan pandemi Covid-19 dirampok dengan alasan tidak jelas peruntukannya. 

"Rencana pemerintah untuk menentukan siapa yang mendapat stimulus dana tersebut juga layak dan patut dipertanyakan. Karena jika melihat general total dana stimulus itu maka sepertinya justru yang mendapatkan dana itu orang-orang berada," jelas Iskandar Sitorus kepada Harian Terbit, Senin (5/10/2020).

Iskandar mendukung rumah sakit yang menerima dana penanggulangan Covid-19 untuk diaudit. Sehingga tidak ada lagi kecurigaan bahwa pasien yang meninggal karena Covid-19. Adanya audit juga akan menghilangkan adanya rekayasa bagi rumah sakit untuk mendapatkan dana penanggulangan Covid-19. Apalagi ada aturan bahwa setiap pihak yang menerima stimulus apalagi yang bersumber dari negara maka harus diaudit.

"Jika ada komponen - komponen yang mencurigakan seperti ada penentuan, ada pengklasifikasian meninggal karena Covid-19 tapi ternyata banyak meragukan maka wajar untuk dilakukan audit," tandasnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Center For Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi mengatakan, anggaran penanggulangan Covid-19 yang mencapai Rp 677,2 triliun sangat disesalkan, pasalnya dana yang baru disalurkan sebesar 36,6 persen dari Rp.695,2 triliun dana penanganan Covid -19 dari APBN. 

“Sayang seribu kali sayang, ternyata, pemerintah baru menggunakan dana penanganan pandemi virus corona sebesar 38,6 persen dari Rp.695,2 triliun,” ujar Uchok di Jakarta, Senin (5/10/2020).

Data Pasien

Koordinator Aliansi Lembaga Analisis Kebijakan dan Anggaran (ALASKA) Adri Zulpianto mengatakan, RS memiliki sistem dan jaringan yang terkoordinir dan terorganisir, maka data pasien Covid seharusnya seragam, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Dia meminta kepada semua pihak untuk sebaiknya data pasien dibuka kepada publik, dan dipajang di setiap kantor atau tempat dinas pemerintah, dari RT hingga Dinkes. Apalagi saat ini, di tingkat RW sudah dibentuk satgas.

"Data itu berupa data pasien yang diperiksa melalui mekanisme rapid dan/atau swab. Sehingga, publik dapat memantau, berpartisipasi dalam melakukan pencegahan terhadap penularan yang semakin masif," jelasnya.

Di sisi lain, sambung Adri, isu terkait mengcovidkan pasien demi uang maka harus diluruskan oleh pihak RS jika memang isu ini tidak benar. “Kami berfikir, isu ini berkembang karena data terkait sebab-akibat pasien bisa menjadi positif tidak dibuka kepada publik, sehingga menjadi isu yang liar di public,” ujarnya.

Bareskrim

Indonesia Police Watch (IPW) mengapresiasi langkah cepat Bareskrim Polri yang akan membentuk Tim Khusus untuk menyelidiki dugaan mafia kesehatan dalam kasus pengcovidan pasien yang sesungguhnya negatif Covid 19.

Akibat ulah mafia kesehatan ini muncul tiga hal yang merugikan negara maupun masyarakat. Pertama, validitas angka korban Covid 19 di Indonesia, terutama yang tewas menjadi tidak akurat. Kedua, negara dirugikan karena anggaran negara untuk korban Covid 19 dirampok oleh para mafia kesehatan. 

Dan ketiga, keluarga korban pengcovidan oleh mafia kesehatan menjadi dikucilkan masyarakat sekitarnya yang khawatir virus tersebut menular kepada mereka.

IPW berharap Bareskrim bisa bekerja cepat untuk menangkap para mafia kesehatan yang sudah merampok uang negara dalam mengcovidkan pasien itu. 

Informasi yang diperoleh IPW, biaya perawatan pasien infeksi virus corona bisa mencapai Rp 290 juta. Dalam Surat Menteri Keuangan Nomor S-275/MK 02/2020 tanggal 6 April 2020 memuat aturan serta besaran biaya perawatan pasien Covid-19, jika seorang pasien dirawat selama 14 hari, maka asumsinya pemerintah menanggung biaya sebesar Rp105 juta sebagai biaya paling rendah. Sedangkan untuk pasien komplikasi, pemerintah setidaknya harus menanggung biaya Rp231 juta per orang.

Untuk itu Bareskrim perlu mengusut dan mengaudit seluruh rumah sakit rujukan Covid 19 agar diketahui seberapa besar sesungguhnya korban meninggal akibat Covid 19 dan berapa besar pula korban yang dicovidkan.

sumber : harianterbit.com

 

Diberdayakan oleh Blogger.