CERITA BOLA: Seni Mendukung Tim Gurem Bernama West Ham United, Loyalitas Para Skinhead dan Kelas Pekerja

Jakarta - Mendukung tim sepak bola yang bergelimang trofi, berlembar-lembar kisah sukses, dan berisi pemain-pemain kelas dunia tentu menyenangkan buat banyak orang. Menikmati kemenangan pada akhir pekan jadi satu di antara sekian cara menutup penatnya hiruk pikuk pekerjaan atau rutinitas sehari-hari. Lalu apa kabar pencinta kesebelasan gurem yang tiap pekannya dihantui hasil minor?

Buat fans tim-tim medioker di luar sana, tentu ada ikatan batin yang sudah terjalin sejak lama, yang sukar dilogikakan. Local pride sebutannya, atau apalah itu. Tengok saja suporter Sunderland yang jika bukan karena pandemi corona, sudah pasti memenuhi Stadium of Light meski timnya sudah lama terjerembab di kasta bawah Liga Inggris, berharap bisa kembali ke Premier League dan bertemu rivalnya, Newcastle United.

Leeds United jadi contoh lainnya. Enam belas tahun lamanya berjuang demi kembali ke Premier League, terbayar tuntas dengan sukses juara Championship Division. Suporter jadi pihak yang paling berbahagia. Doa, dukungan, penantian, dan harapan untuk kembali memetakan diri di sepak bola terbaik Liga Inggris menuai hasil.

Padahal, mereka berhak untuk mendukung 'tim besar' di Inggris. Sama dengan suporter sepak bola di Spanyol, Jerman, Prancis, Brasil, negara manapun, termasuk Indonesia. Tapi ada pride tersendiri yang membuat mereka teguh untuk tetap mendukung tim yang mereka yakini adalah tim terbaik, sekalipun meraih hasil imbang melawan penguasa kompetisi saja sudah seperti kemenangan besar.

Ada satu kesamaan di antara para pendukung tim gurem, yakni mereka mencintai sepak bola dengan cara yang tidak pernah mereka kira, dan mereka tidak peduli status dan kualitas klub yang mereka cintai di atas kertas.

Penulis membaca sebuah situs olahraga di Irlandia beberapa saat setelah undian babak grup Liga Champions. Dalam laporan ringannya, tertulis kekecewaan besar, bukan karena Dundalk, tim sepak bola Irlandia, bertemu dengan lawan kuat Arsenal, melainkan karena tipisnya peluang suporter menyaksikan langsung laga tersebut di kandang mereka akibat pandemi corona.

Begitu besarnya passion suporter Dundalk bertemu Arsenal, meski di atas kertas kekuatan kedua tim bertolak belakang. Mereka seakan menomorduakan hasil akhir, yang terpenting klub kesayangan mereka bisa bersaing di pentas tertinggi antarklub Eropa, terlebih lawannya adalah wakil dari Inggris, tetangganya sendiri. Mungkin, kemenangan hanyalah bonus, sementara gairah mendukung adalah luapan emosi yang tak ternilai harganya.

Penulis tidak mau menyematkan Newcastle United sebagai tim gurem, tapi saya ingin me-relate perasaan fans The Toon dengan seni mendukung tim gurem. Soal prestasi, Newcastle pernah berjaya di Liga Inggris, sama seperti Leeds United. Jadi, saya lebih suka melabeli klub ini sebagai tim medioker jika titel tim gurem terlalu berlebihan.

Berbanding terbalik dengan tim-tim yang mapan, baik secara finansial maupun struktur organisasi, Newcastle United bisa dibilang adem-adem panas. Adem karena keuangan klub terbilang stabil, namun panas karena pengelolaan yang bikin gemas suporternya. Ini terjadi setelah Mike Ashley masuk sebagai pemegang saham klub pada 2007.

Ketika suporter Newcastle United berharap banyak pada Mike Ashley, mereka justru dibuat kecewa karena belakangan pria berusia 56 tahun ini malah terkesan ogah-ogahan mengelola klub. Tiga kali sudah ia berniat menjual Newcastle, meski pada kesempatan ketiganya lebih karena didesak oleh suporter. Alih-alih, kesepakatan dengan Arab Saudi justru kandas karena campur tangan Premier League dan Badan Amnesti Internasional, dan suporter harus bersabar lagi menanti Mike Ashley angkat kaki dari St. James' Park.

Manchester United juga memiliki persoalan mirip dengan Newcastle dan West Ham yang bermasalah dengan pemilik klubnya. Suporter di Manchester sono begitu vokal menyuarakan mosi tidak percaya kepada Glazer Family. Toh, pada akhirnya, yang terpenting buat suporter yang bukan asli Inggris adalah MU bisa menang supaya terhindar dari sindiran suporter klub lain.

Ada kedekatan unik nan intim yang terjalin ketika mendukung tim gurem. Informasi mengenai tim kesayangan menjadi lebih direct ketimbang mendukung tim besar. Ketimbang hanya menemui pembahasan soal strategi, pemain idola, dan hal-hal teknis lainnya, yang ujung-ujungnya saling sindir lewat meme kocak, Anda bisa tenggelam lebih dalam sampai ke 'dapur' klub.

Di sinilah seninya. Ada ikatan yang secara tak sadar muncul begitu saja. Ibarat orang yang sedang jatuh cinta, Anda jadi ingin mengetahui informasi apa saja soal si dia, baik dan buruknya. Kemudian dengan sendirinya rasa cinta itu akan tumbuh menjadi unconditional love, bahwa Anda akan mencintai sebuah klub apa adanya, tanpa alasan, tanpa logika, bahwa Anda menginginkan yang terbaik buat klub yang Anda cintai.

Dalam tulisan ini, penulis bukannya mau mengecilkan passion fans tim-tim besar. Tentu saja tiap orang punya alasan. Sebagian orang menilai bahwa sepak bola hanyalah olahraga. Tapi tak sedikit yang merasa jika permainan si kulit bundar lebih dari itu. 

sumber : bola.com

Diberdayakan oleh Blogger.