CERITA BOLA : AC Milan Bangun dari Tidur Panjang dan Memori Parabola di Lhokseumawe

Jakarta - Ucapan tersebut terlontar dari mulut Ibrahimovic, tak lama setelah membubuhkan tanda tangannya di kontrak baru yang disodorkan manajemen AC Milan pada 31 Agustus 2020. Ambisi besar Ibracadabra itu membangkitkan gairah Milanisti, termasuk penulis yang sudah rindu akan kejayaan Milan.

Didirikan pada 16 Desember 1899 oleh sekumpulan pekerja dari Milan, serta pesepak bola asal Inggris dan Swiss, AC Milan merupakan satu di antara klub tersukses di Italia dan Eropa. Berbagai trofi

Kemegahan nama besar AC Milan tersebar ke seantero dunia. Tak terkecuali ke sebuah kota kecil di utara Aceh bernama Lhokseumawe. Sebagai seorang remaja berusia 14 tahun, penulis tergila-gila dengan penampilan Milan pada akhir abad ke-20.

Ya, saya bisa dibilang terlambat menyukai sepak bola, terutama AC Milan, karena ketika itu masih galau menentukan klub idola. Sempat juga sih menjadi pemuja Juventus, karena mereka sedang berjaya di bawah arahan juru taktik Marcelo Lippi.

Hingga akhirnya, saya secara pribadi tersadar dan jatuh hati dengan warna Merah-Hitam milik Milan. Apalagi, AC Milan asuhan Alberto Zaccheroni, diperkuat nama-nama tenar, semacam Paolo Maldini, Sebastiano Rossi, Zvonimir Boban, Oliver Bierhoff, hingga George Weah.

Armada Zaccheroni pun berhasil merengkuh Scudetto 1998-1999. I Rossoneri sukses menghentikan dominasi Juventus yang meraih titel juara Serie A dalam dua musim secara beruntun, yakni 1996-1997 dan 1997-1998.

Demi bisa menyaksikan duel Milan di layar kaca, saya terkadang harus menonton di rumah tetangga yang memiliki parabola. Maklum, saat itu kota Lhokseumawe masih belum terjangkau siaran televisi swasta dari Jakarta.

Kecintaan penulis kepada AC Milan semakin membuncah pada awal era milenium. Pasalnya saat itu, Milan berada di bawah asuhan Carlo Ancelotti dan merekrut deretan pemain top dunia.

Kejayaan Bersama Carlo Ancelotti

Mulai duduk di kursi pelatih I Rossoneri pada 5 November 2001, Ancelotti membawa dampak positif. Kendati sempat mendapat kritikan dari Presiden AC Milan kala itu, Silvio Berlusconi, akibat taktik bertahan yang diterapkan, Don Carlo berhasil membuat penampilan timnya semakin hidup.

Pelatih asal Italia itu menerapkan tiga formasi berbeda di AC Milan, mulai dari 4-3-1-2, 4-4-2, atau 4-2-3-1. Berkat taktik ala Carlo Ancelotti dan dihuni pemain berkualitas mulai dari Rui Costa, Filippo Inzaghi, Andrea Pirlo, Alessandro Nesta, Clarence Seedorf, Kaka, Andriy Shevchenko, dan beberapa nama tenar lainnya, Milan mampu merengkuh berbagai gelar juara.

Milan era Ancelotti dari 2001 hingga 2009 tercatat meraih delapan gelar juara. Sebagai seorang Milanisti, penulis pun ikut merasakan euforia ketika AC Milan merengkuh titel juara. "Yes, aku tak salah memilih tim favorit nih."

Namun dari tujuh gelar tersebut, dua trofi Liga Champions adalah yang paling berkesan. Pasalnya, Il Diavolo Rosso berhasil mengalahkan musuh bebuyutannya untuk keluar sebagai juara, sekaligus mempertegas DNA kampiun di Eropa

Pada Liga Champions 2002-2003, AC Milan berhasil menaklukkan sang rival di Serie A, Juventus. Eksekusi penalti Shevchenko membuat Milan meraih kemenangan dengan skor 3-2 atas Juve pada babak tos-tosan.

Suporter AC Milan yang berada di Old Trafford bergemuruh merayakan keberhasilan merengkuh trofi Liga Champions yang keenam tersebut. Tak ketinggalan, puluhan bahkan hingga ratusan juta suporter layar kaca juga bergembira atas keberhasilan I Rossoneri.

Awak yang menyaksikan partai final Liga Champions 2002-2003 di sebuah warung kopi di bilangan Jakarta Selatan, ikut berteriak menyaksikan AC Milan berhasil membungkam Juventus, klub yang dulunya pernah saya idolai.

Adapun pada partai final Liga Champions 2006-2007, skuad Merah-Hitam sukses membungkam Liverpool dengan skor 2-1 di Olympic Stadium, Athens.

Bagi saya dan mungkin juga Milanisti di seluruh dunia, kemenangan atas The Reds terasa memuaskan. Milan berhasil membalaskan dendam kekalahan di final Liga Champions 2004-2005!

 Tetap Setia meski Dicerca

Tatkala Carlo Ancelotti pergi dan menerima pinangan dari Chelsea pada musim panas 2009, saya pribadi merasa sedih dan juga senang.

Sedih karena Ancelotti tak lagi duduk di kursi pelatih AC Milan.

Namun di satu sisi, merasa senang karena taktik Don Carlo sudah usang dan kerap mengandalkan 'gerbong tua', seperti Paolo Maldini, Filippo Inzaghi, Alessandro Nesta, dan Alessandro Costacurta. Bagaimana mau mendominasi Serie A lagi kalau terus-terusan mengandalkan serdadu veteran. Mimpi kali ye.

Mantan gelandang AC Milan, Leonardo, ditunjuk sebagai suksesor Carlo Ancelotti pada 1 Juni 2009. Namun, karier Leonardo di Milan nyatanya tak terlalu sukses.

Eks pemain Timnas Brasil itu hanya mampu membawa AC Milan meraih 23 kemenangan, 13 hasil imbang, dan menelan 12 kekalahan dari 48 pertandingan. Alhasil, Leonardo hanya semusim menangani Milan.

Pada musim berikutnya, AC Milan memercayakan Massimiliano Allegri sebagai allenatore. Banyak yang mempertanyakan dan meragukan kualitas Allegri, termasuk saya sebagai Milanisti.

Akan tetapi, pelatih asal Italia tersebut berhasil menjawab keraguan itu dengan meraih dua gelar juara, yakni Serie A 2010-2011 dan Supercoppa Italiana 2011. Sayangnya, karier Massimiliano Allegri bersama AC Milan berjalan kurang menyenangkan, karena dia dipecat pada 13 Januari 2014 menyusul hasil minor yang didapat.

Pasca-kepergian Allegri, AC Milan seperti macan ompong. Berbagai pelatih silih berganti menangani I Rossoneri dalam lima musim terakhir, mulai dari Clarence Seedorf, Filippo Inzaghi, Sinisa Mihajlovic, Cristian Brocchi, Vincenzo Montella, Gennaro Gattuso, hingga Marco Giampoalo.

Nama-nama tersebut kesulitan mendongrak performa AC Milan. Bahkan, Milan lebih sering menghuni papan tengah di klasemen Serie A dan absen panjang berlaga di Liga Champions. Milan seperti tertidur panjang. Taji sebagai tim besar seperti hilang tanpa bekas.

Apes bagi penulis, sebagai Milanisti menjadi sasaran cercaan, baik dari teman sejawat di kantor ataupun kawan sepermainan di rumah. "Apaan tuh Milan, udah jadi tim medioker ya sekarang," sindir salah seorang kawan.

Mau membalas enggak mungkin, karena faktanya AC Milan prestasinya medioker. Tapi walau begitu tetap tak bisa berpaling ke lain hati.

Harapan Itu Kembali Muncul

Terkadang, rentetan hasil buruk yang diterima I Rossoneri membuat perasaan penulis bercampur aduk, mulai dari kesal, sedih, galau, dan juga kecewa. Rasanya seperti ingin melempar sendal atau sepatu ke para pemain atau pelatih.

Perasaan pesimistis cenderung pasrah pun muncul ketika manajemen AC Milan menunjuk Stefano Pioli sebagai pelatih pada Oktober 2019.

Ternyata, bukan hanya saya tidak sendirian yang meragukan kinerja Pioli. Suporter Milan di dunia maya sampai menggaungkan tagar PioliOut. Padahal pria Italia tulen tersebut belum resmi ditunjuk sebagai pelatih.

Awal karier Stefano Pioli sebagai pelatih AC Milan juga kurang meyakinkan. Pioli hanya mampu membawa Milan meraih satu kemenangan, menelan tiga kekalahan, dan dua hasil imbang dari enam laga di Serie A musim lalu.

Perlahan, Stefano Pioli berhasil mendongkrak performa AC Milan. Selepas lockdown akibat pandemi virus corona, Milan berhasil merengkuh sembilan kemenangan, tiga hasil imbang, dan tak terkalahkan dalam 12 laga terakhir di Liga Italia 2019/2020.

Berkat hasil tersebut, AC Milan finis di peringkat enam klasemen akhir Serie A dengan nilai 66. Torehan tersebut membuat I Rossoneri berhak berlaga pada kualifikasi babak kedua Liga Europa musim ini.

Sejumlah pemain juga terlihat makin padu dengan strategi 4-2-3-1 racikan Pioli. Zlatan Ibrahimovic yang diplot sebagai ujung tombak, tetap tajam meski telah berusia 38 tahun.

Sementara itu, Hakan Calhanoglu kini sering dimainkan sebagai gelandang serang ketimbang winger. Hasilnya, pemain Timnas Turki itu mampu menjadi motor serangan AC Milan. Begitu juga dengan Franck Kessie, Theo Hernandez, dan Ante Rebic semakin bersinar di bawah asuhan Stefano Pioli.

Tak heran jika akhirnya AC Milan mengawali musim ini dengan gemilang. Mereka berhasil menyapu bersih kemenangan dalam dua laga perdana di Serie A, yakni kontra Bologna (2-0) dan Crotone (2-0).

Di Liga Europa, Milan juga sukses memetik kemenangan. AC Milan membungkam Shamrock Rovers dengan skor 2-0 pada kualifikasi babak kedua, menang 3-2 atas Bodo/Glimt pada kualifikasi babak

ketiga, serta menang adu penalti 8-9 (2-2) atas Rio Ave pada playoff. Hasil itu pun membuat Il Diavolo Rosso lolos ke fase grup Liga Europa.  

Penampilan AC Milan yang semakin padu, kompak, dan memiliki skuad yang merata di segala lini membuat harapan ku melihat klub idola berjaya kembali muncul. Namun begitu, impian melihat Milan mengangkat trofi juara masih terlalu dini, karena musim ini masih panjang.

Namun andai pun kembali gagal, itu tak terlalu menjadi masalah buat ku. Karena bagi ku, warna Merah-Hitam milik AC Milan sudah terpatri di dalam hati.

Mendadak kenangan menyaksikan pertandingan tim kesayangan lewat parabola di Lhokseumawe kembali terngiang di kepala. Duh, semoga musim ini menjadi awal kembalinya kejayaan AC Milan. Forza Milan!

sumber : bola.com  

 

Diberdayakan oleh Blogger.