Bisakah Kita Berdemo dengan Kepala Dingin Tanpa Harus Rusuh?


 Oleh: Anatasia Wahyudi

Universitas Nasional merupakan salah satu universitas tertua di Indonesia. Berlokasi di Jakarta, kampus ini belum lama didemo oleh mahasiswanya yang menuntut diskon SPP selama pandemi dan transparansi.

Sebagai salah satu mahasiswa aktif yang kini sedang menjalani semester akhir, saya berpendapat bahwa selama ini UNAS tidak mempermasalahkan demo yang dilakukan oleh mahasiswa. Sebelumnya, mahasiswa juga berdemo menuntut diaktifkannya kembali BEM dan menolak sistem blended learning. Tetapi, tidak sekali pun UNAS melarang aksi tersebut.

Menurut kaca mata saya, bersuara silahkan asal jangan anarkis! Jika melihat video yang tersebar di media sosial, pihak kampus sudah meminta mahasiswa untuk mundur karena mobil dosen akan keluar, tetapi dihadang bahkan diancam. Apakah itu baik? Tentu tidak.

Selain itu juga, akun Unas Gawat Darurat hingga saat ini tidak pernah mengirimkan bukti hasil investigasi pegawai di kampus yang disinyalir tidak dibayar haknya—bahkan dipecat selama pandemi ini. Jika memang benar, buktikan.

Saya memang sempat terpancing dengan informasi yang menyebar di media sosial, tetapi setelah saya pikirkan berulang kali, admin akun tersebut belum pernah membuktikan laporan hasil investigasinya.

Mahasiwa, Jangan Playing Victim!

Jika melihat media, hampir semua pemberitaan ke arah negatif terhadap Unas. Karena dianggap sebagai kampus otoriter. Jika melihat cuplikan video yang tersebar, mungkin dapat dilihat sendiri bahwa pihak Unas yang berada di luar hanya hitungan jari. Jika memang ada pengeroyokan, sudah dapat dipastikan bahwa Unas akan kalah karena kurangnya orang.

Kita semua lelah dengan keadaan ini. Jangan terbawa emosi hingga akhirnya membuat celaka diri sendiri! Sebagai mahasiswa sudah seharusnya kita bersikap kritis. Mengecek kembali informasi yang tersebar di masyarakat bukan hanya sekedar ikut-ikutan atas nama solidaritas. Bukan, bukan begitu caranya.

Jika memang ingin audiensi, lakukan dengan cara yang benar. Bukan dengan merusak mobil dosen, membakar ban, mengunci gerbang kampus, memukul karyawan dan pihak keamanan kampus hingga membakar jaket almamater.

Dan sangat disayangkan sampai melakukan pencemaran nama baik instansi sendiri. Kita boleh saja menyuarakan aspirasi, tapi tidak dengan emosi!

Terlalu Banyak yang Bicara Semakin Samar Kebenaran

Juli lalu, wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dasco Ahmad yang meminta Rektor UNAS mencabut sanksi akademik terhadap 17 mahasiswa Unas. Atas kejadian itu, Ketua Pengurus Besar Nahdalatul Ulama bidang Ekonomi, Umarsyah menyayangkan sikap Sufmi karena tidak melakukan klarifikasi terlebih dahulu.

Menurut hasil yang dilaporkan oleh Komisi Disiplin, dari 80% mahasiswa yang dipanggil, dengan sadar mengakui kesalahannya dan telah meminta maaf kepada pihak kampus. Unas juga telah memberikan maaf dengan menandatangani surat pernyataan untuk tidak lagi melakukan hal yang serupa. Jika melakukan lagi siap menerima saksi tegas dari pihak kampus.

Dengan kejadian ini, diharapkan tidak ada lagi demo anarkis. Lakukan demo dengan tertib. Saya sendiri lebih menyukai mahasiswa yang berdemo. Karena itu artinya mereka kritis, namun tidak dengan anarkisme.

Saya bahkan salut kepada mahasiswa yang juga aktivis. Mari kita berpikir bijak bahwa kondisi ini tidak dapat dihindari dan jika ingin berdemo lakukan dengan tertib. Serta jangan menyebarkan informasi tanpa bukti pasti. Karena kita sangat beruntung di saat masih banyak orang-orang yang tidak dapat menempuh pendidikan di bangku perkuliahan, kita bisa.

Mari kita manfaatkan momen ini untuk lebih banyak mencari ilmu dengan mengikuti berbagai acara seminar virtual karena tugas kita untuk memperbaiki bangsa ini di masa depan. Panjang umur perjuangan!
Diberdayakan oleh Blogger.