`Perang` Terbuka Dimulai, Ogah Dibui Sendiri Setnov Seret SBY dan Ibas

SBY dan Setnov. Foto Ist

JAMBITERBIT.COM, JAKARTA - Drama kasus e-KTP Makin Panas. Setelah sejumlah anggota DPR dan pejabat negara diseret Komisi Pemberantasan Korupsi ke tahanan, kini muncul babak baru, `perang` terbuka antara Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan mantan Ketua Umum Partai Golkar yang kini menjadi terdakwa kasus e-KTP yang merugikan negara Rp2,3 triliun tersebut.

 Setnov ingin menyeret semua angota DPR yang terlibat kasus tersebut, termasuk SBY dan putranya Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas). Dalam buku hitamnya mantan Ketua Fraksi Golkar ini menulis nama "Ibas". “This is my war,” kata SBY ketika menanggapi penyebutan namanya di dalam sidang skandal korupsi proyek pengadaan e-KTP yang dimulai saat ia menjabat presiden. Kepada pers, SBY menegaskan dia akan berjihad untuk mendapatkan keadilan.

Hal ini untuk membersihkan namanya dari skandal e-KTP sebagaimana dibeberkan kuasa hukum Setnov Firman Wijaya di sidang pengadilan Tipikor pada 25 Januari 2018 dengan terdakwa Setya Novanto (Setnov).

Pada sidang itu saksi Mirwan Amir (MA), mantan politisi Partai Demokrat (PD), mengatakan bahwa dia pernah menyampaikan kepada SBY agar proyek e-KTP dihentikan karena bermasalah. Namun, menurut Mirwan, SBY malah menginstruksikan supaya dilanjutkan. SBY pun melaporkan Firman Wijaya ke Bareskrim Polri beberapa hari lalu.

 Hanya Tertawa Menanggapi pernyataan, "This Is My War" dari Presiden RI ke-enam itu, Setnov langsung tertawa. "Hehehe, nanti dilihat saja sama-sama perkembangannya gimana," ucap Setya Novanto, Kamis (8/2/2018) di Pengadilan Tipikor Jakarta.

Saat dicecar wartawan soal pernyataan SBY soal air susu di balas air tuba yang dialamatkan kepadanya, Setnov enggan memberikan tanggapan lebih. Setya Novanto yang juga mantan Ketua Umum Partai Golkar itu hanya menegaskan, dirinya tidak pernah mengikuti pembahasan anggaran proyek e-KTP 2011-2012 di DPR.

"Saya kan ga ikut-ikut," kata Setya Novanto. Diketahui pada Selasa (6/2/2018) lalu, SBY secara resmi melaporkan penasihat hukum Setya Novanto, Firman Wijaya ke Bareskrim Polri atas tuduhan pencemaran nama baik. Laporan ini berawal dari pernyataan Firman Wijaya yang menilai, kesaksian Mirwan Amir dalam persidangan kliennya, Kamis (25/1/2018) di Pengadilan Tipikor memperlihatkan kekuatan besar yang disebut mengintervensi proyek e-KTP itu adalah anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR periode 2009-2014.

Apalagi, proyek e-KTP-el itu erat kaitannya dengan anggaran. Karena itu, Firman menilai, keliru dengan anggapan bahwa proyek tersebut dikendalikan oleh Setya Novanto. Firman juga menyebutkan, proyek e-KTP dikuasai oleh pemenang Pemilu 2009. Dalam persidangan untuk terdakwa Setya Novanto terungkap tiga partai besar yakni PDIP, Demokrat dan Golkar mendapatkan jatah dalam proyek pengadaan e-KTP.

Demokrat dan Golkar masing -masing mendapatkan Rp150 miliar sedangkan PDIP 80 miliar. Perang SBY dan Setnov Makin Terbuka Perang Dimulai Menanggapi ‘perang’ antara Setnov dan SBY itu, Direktur Government Watch (Gowa) Andi Saputra mengatakan, perang Baratayudha antara SBY dan Setnov akan segera dimulai.

Perang keduanya terjadi setelah nama SBY dimunculkan oleh mantan wakil bendahara Partai Demokrat, Mirwan Amir saat menjadi saksi dalam persidangan kasus e-KTP untuk terdakwa Setya Novanto. Andi meminta KPK memeriksa Ibas dan Anas Urbaningrum. Selain itu KPK jangan terjebak dengan manuver yang tengah diolah oleh SBY.

Sehingga KPK bisa menindaklanjuti goresan nama Ibas pada buku wasiat Setya Novanto. Artinya, Ibas harus diperiksa dan juga Anas, yang diperoleh KPK dari keterangan saksi-saksi. "Jadi bukan hanya Ibas tapi juga KPK harus memeriksa Anas juga karena nama keduanya ada dalam daftar penikmat jarahan hasil proyek e-KTP seperti yang telah disampaikan para terdakwa sebelumnya.

Sebelum tersangkut proyek Hambalang, kedekatan antara Anas dengan Ibas sangat kental," ujar Andi Saputra kepada Harian Terbit, Kamis (8/2/2018). Masalahnya, lanjut Andi, sejak dulu KPK tidak pernah periksa Ibas. Tapi sekarang mungkin bisa karena telah beda rejim dan penguasanya juga beda.

“Permohonan justice collabolator yang diajukan oleh SN salah satu syarat utamanya adalah dapat bekerjasama membongkar pelaku-pelaku utama," kata Andi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Analisa Konstitusi dan Negara (LASINA) Tohadi mengatakan, terkait dugaan keterlibatan Ibas dalam kasus e-KTP menurutnya sudah disampaikan oleh Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat.

“Oleh karena itu menjadi tugas KPK untuk mendalami dan menyelidikinya. Karena dari sisi hukum, jika hanya baru disebut maka harus dibuktikan dengan alat bukti lainnya. Ingat ketika Amien Rais disebut bahkan dalam dakwaan JPU KPK menerima aliran dana korupsi juga tidak serta merta bersalah.  Jadi harus dibuktikan oleh KPK nanti," paparnya.

Membahayakan

Dihubungi terpisah, pengamat politik Indro Tjahyono mengemukakan, jangan-jangan ocehan Setnov tersebut terkait upaya untuk membuka kotak pandora yang sampai saat ini terkunci rapi di ruangan KPK. Sementara sekandal Bank Century hanya dikanalisasi sebagai kesalahan prosedur dan administrasi.

“Kalau sekarang Setnov mulai bernyanyi itu benar-benar bisa membahayakan para pelaku korupsi sebelumnya. Padahal untuk mencegah agar korupsi sebelumnya terungkap, seperti skandal BLBI dan sekandal pengampunannya,” ujar Indro kepada Harian Terbit, Jumat (9/2/2018).

Dia mengemukakan, bagi orang yang paham sebenarnya sudah mahfum bahwa proyek-proyek raksasa di era politik liberal adalah bagian dari modus untuk kumpulkan dana politik. Pada masa SBY ada dua proyek besar, yang dua-duanya ditempatkan di Kemendagri yakni E-KTP dan pembentukan Musrenbang (Musyawarah Perencanaan Pembangunan).

“Hanya bedanya proyek E-KTP proposalnya sudah lengkap. Dulu mau dilaksanalan di era Suharto oleh puterinya Tutut, tapi sayang Suharto keburu lengser,” paparnya. Bareskrim Kuasa Hukum Setya Novanto, Firman Wijaya menanggapi santai langkah Ketua Umum DPP Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono yang melaporkannya ke Bareskrim Polri atas tuduhan penggiringan opini dalam persidangan e-KTP, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, harusnya Presiden ke-6 RI tersebut bisa menghormati proses persidangan. Sebab dalam sidang itu semua terbuka demi kepentingan pembuktian. “Ini kan proses tindak pidana korupsi. Seharusnya dapat dihormati oleh semua pihak, jangan diintervensi, jangan diintimidasi. Semuanya kan terbuka di persidangan, tak ada yang ditutupi. Ada keterbukaan dalam pembuktian,” kata Firman.

Penulis   : Safari
Sumber   : harianterbit
Diberdayakan oleh Blogger.